Pendahuluan
Kajian
tentang konsep pendidikan Islam memang menarik
didiskusikan dan dibahas secara mendalam, walaupun hal itu beberapa kali telah
diangkat menjadi tema kajian oleh beberapa tokoh pemikir. Di hadapan dunia
akademis, tema-tema seperti itu terkesan sudah “sangat sering”, namun dinamika
pemikiran intelektual selalu tidak pernah puas dan final akan kajian yang
serupa. Memusatkan seputar kajian konsep pendidikan Islam dan Islamisasi
pengetahuan dilatar belakangi oleh rasa keingintahuan akan sebuah pemahaman
yang relatif komprehensif, mendalam, serta berusaha mengelaborasi
pemikiran-pemiran yang ada ke dalam konteks pergumulan pemikiran sekarang yang
jauh lebih dialektik.
Membicarakan
pendidian Islam satu hal yang tidak ada selesainya, paling tidak disebabkan
oleh dua hal, pertama pendidikan itu sendiri memang harus berkembang
dilihat dari wataknya sendiri. Kedua perkembangan pendidikan itu harus
sejalan dengan perkembangan jalan.
Untuk
mengolah semua ini adalah tugas ahli pendidikan agar mudah dalam menerapkan
pembelajarannya, dalam kehidupan manusia yang telah di anugrahi akal untuk
berfikir serta berbagai potensi lainnya. Dalam berbagai persoalan dalam dunia
pendidikan seperti mengenai unsur-unsur pendidikan seperti : tujuan pendidikan,
dasar pendidikan, metode pengajaran, kurikulum, pendidik, peserta didik dan
eveluasi sebagai standart untuk tercapainya tujuan suatu proses pembelajaran.
Menyikapi
persoalan di atas telah banyak melahirkan sejumlah tokoh di berbagai pelosok
dunia Islam, maka kami hadirkan beberapa Tokoh yang berupaya untuk memberikan
kontribusinya dalam mengembangkan Pemikiran Pendidikan Islam, diantaranya
adalah Syed Muhammad
Naquib Al-Attas dan Hasan Langgulung .
Konsep Pendidikan Islam Menurut Syed Muhammad Naquib
Al-Attas
A. Biografi Syed Naquib al-Attas
Syed Naquib al-Attas lahir di Bogor, Jawa Barat
pada tanggal 5 September 1931. ia keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura,
Jawa Barat. Melalui silsilah/nasab ayahnya, ia termasuk keturunan bangsa Arab,
yakni keturunan ahli tasawuf yang terkenal dari kalangan Sayid.
Sejak usia 5 tahun, ia telah mengenyam
pendidikan, ketika ia di Johor Baru yang bersama saudara ayahnya Encik Ahcmad.
Ia juga pernah belajar di Ngee Neng English Premery School di Johor Baru.
Selama 4 tahun ia kembali di Sukabumi Jawa Barat dan belajar di Madrasah al-Urwatul
Wustqa. Setelah itu, ia kembali ke Johor Baru melanjutkan pelajaran di Bukit
Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru selama 3 tahun.
Setelah itu ia masuk tentara.
Karir militer al-Attas dimulai di lasykar
tertara gabungan Malaysia-Inggris dengan pangkat perwira kader,
kecenderungannya dalam dunia militer ini membuat dia terpilih untuk mengikuti
pendidikan militer di Easton Hall, Chaster, Inggris dari tahun 1952-1955.
Sedangkan pangkat terakhir yang diraihnya di dunia militer ini adalah letnan.
Walaupun karir al-Attas sangat cemerlang
di dunia militer, namun minat besarnya terhadap ilmu telah mendorongnya untuk
meninggalkan dunia militer ini, dan sepenuhnya mencurahkan perhatiannya
terhadap dunia ilmu. Karir akademiknya, setelah meninggalkan karir militer
adalah masuk ke University of Malay, Singapore 1957-1959. Kemudian dia
melanjutkan pendidikannya di McGill University untuk kajian keIslaman (Islamic
Studies) hingga memperoleh M.A. pada 1963. Selanjutnya dia mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan studinya di School of Oriental and Arfican
Studies, Universitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pusat
kaum orientalis. Di universitas ini, dia menekuni teologi dan metafisika, dan
menulis disertasi doktornya tentang “Mistisisme Hamzah Fansuri”,
yang sekarang telah diterbitkan dengan judul The Mysticism of Hamzah
Fansuri (The University of Malay Press, Singapore, 1970).
Setelah tamat dari universitas London, dia
kembali ke almamaternya, University Malay. Di sini dia bekerja sebagai dosen,
dan tak lama kemudian diangkat sebagai Ketua Jurusan Sastra Melayu. Karir
akademiknya terus menanjak dan di lembaga ini dia merancang dasar bahasa
Malaysia, kemudian tahun 1970, dia tercatat sebagai salah satu pendiri
University Kebangsaan Malaysia. Dan di universitas yang baru ini, dua tahun
kemudian, dia diangkat sebagai profesor untuk Studi Sastra dan Kebudayaan
Melayu, dan kemudian pada 1975, dia diangkat sebagai dekan fakultas sastra dan
kebudayaan Melayu Universitas tersebut.
Otoritas al-Attas di bidang pemikiran
sastra dan kebudayaan, khususnya dalam dunia Melayu dan Islam, tidak saja
diakui oleh kalangan pemikir dan ilmuan kawasan Asia Tenggara, tapi juga
kalangan internasional. Ini dapat dilihat dari sekian banyak penghargaan yang
diberikan terhadapnya sehubungan dengan karir intelektualnya, khususnya dalam
filsafat Islam. Diantaranya adalah pengangkatan sebagai anggota American
Philoshopical Assocation, dan penghargaan sebagai filosof yang telah memberikan
sumbangan besar bagi kebudayaan Islam dari Akademi Falsafah Maharaja Iran. Dan
terakhir ia diserahi jabatan oleh Kementrian Pendidikan dan Olah Raga Malaysia
untuk memimpin Institut Internasional Pemikiran da Tamaddun Islam, yaitu
lembaga otonom yang berada pada Universitas Antar Bangsa, Malaysia.
B.
Karya-karya
al-Attas
Untuk
mengenali karya al-Attas, kita dapat melihat dari dua bagian, yakni karya-karya
kesarjanaan (scholarly writing), dan karya-karya pemikiran. Yang
pertama lebih menggambarkan dia sebagai seorang ahli atau sarjana (scholar).
Ini terutama dapat dilihat dalam karya-karyanya yang berkaitan dengan
kebudayaan Melayu dan Nusantara, khususnya mengenai mistisisme. Sementara yang
kedua menggambarkan dia sebagai pemikir. Berikut ini karya-karya yang berkaitan
dengan bagian pertama:
1.
Rangkaian Rubui’iyat, Dewan Bahasa &
Pustaka, Kuala Lumpur, 1959.
2.
Some Aspect of Sufism as Understood and Practiced
among the Malays, MSRI, Singapore, 1963.
3.
Raniri and the Wujudiyah of 17th Century
Acheh, Mograph of the Royal Asitic Society, Malaysian Branch, No. 111,
Singapore, 1966.
4.
The Origin of the Malay Sha`ir, Dewan Bahasa
& Pustaka, Kuala Lumpur ,1968.
5.
Preleminary Statement on a General Theory of the Islamization
of the Malay-Indonesia Archipelago, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala
Lumpur, 1969
6.
The Mysticism of Hamzah Fansuri, Universitas
Malaya Press, Kuala Lumpur, 1969.
7.
Conluding Postcrip to the Malay Sha`ir, Dewan
Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, 1971.
Sedangkan karya yang berkenaan dengan
gagasan/pemikiran banyak berbicara tentang konsep, terutama konsep pendidikan,
filsafat dan Islamisasi ilmu. Berikut ini karya-karya yang masukbagian kedua:
1. Islam: The Concept of Religion and
the Foundation of Ethic and Morality, ABIM, Kuala Lumpur,
1976.
2. Preliminary Thought on the Nature of
Knowledge and the Definition and Aims of Education,
PMIM, Kuala Lumpur, 1977.
3. Islam and Secularism, ABIM,
Kuala Lumpur, 1978.
4. Islam, Secularism, and Philosophy of
the Nature, 1985.
5. Dilema Kaum Muslimin, Bina
ILmu, Surabaya, tt.
6. The Concept of Education in Islam:A
framework for a Islamic Philosophy of Education, ABIM,
Kuala Lumpur, 1980.
7. Aims and Objectives of Islamic
Education, Hodder-Stoughton, London and University
of King Abdul Aziz, Jeddah, 1979.
8. Islam and the Filsafat Sain, Penerjemah:
Saiful Muzani, Mizan, Bandung, 1995.
Melalui
dua macam karya di atas, al-Attas terlihat jelas dalam program-program
kerja jangka panjang Institut Pemikiran dan Tamaddun Islam yang dipimpinnya, yang
menurut hemat penulis adalah suatu bentuk pelembagaan dari obsesi dan cita-cita
intelektualnya.
C.
Konsep Pendidikan menurut Naquib al-Attas
Ada beberapa istilah yang dipakai untuk
menunjuk pengertian "pendidikan Islam" yang pengistilahan itu diambil
dari lafad bahasa Arab (al-Qur'an) maupun al-sunnah. Misalnya dijumpai kata tarbiyah,
ta'lim, dan ta'dib bahkan ada yang disebut riyadlah.
Namun dalam pembahasan berikut ini akan disajikan konsep pendidikan Islam versi
Naquib al-Attas.
Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam
pandangan al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah (lafad) ta’dib, daripada
istilah-istilah lainnya. Pemilihan istilah ta’dib, merupakan hasil analisa
tersendiri bagi al-Attas dengan menganalisis dari sisi semantik dan kandungan
yang disesuaikan dengan pesan-pesan moralnya.
Sekalipun istilah tarbiyah dan ta’lim
telah mengakar dan mempopuler, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep
yang dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan
(Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas,
merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang
berarti memberi adab, atau mendidik.
Dalam pandangan al-Attas, dengan
menggunakan term di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses
internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial
yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan
adab. Seperti yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses
mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai
pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’ (Ismail SM, dalam
Abdul Kholiq, dkk., 1999: 275)
Al-Attas melihat bahwa adab merupakan
salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan dengan umatnya.
Dengan menggunakan term adab tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul.
Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabdanya: “Tuhanku telah mendidikku
(addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik (HR.
Ibn Hibban).
Sesuai dengan ungkapan hadits di atas,
bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia,
agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian.
Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah wahana penting untuk
penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis dengan kehidupan
masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan
adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term
ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis,
melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktivitas di mana manusia
hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama.
Al-Attas membantah istilah tarbiyah, sebagaimana
yang digunakan oleh beberapa pakar pedagogis dalam konsep pendidikan Islam. Ia
berpandangan bahwa term tarbiyah relatif baru dan pada hakikatnya
tercermin dari Barat. Bagi al-Attas (1990:64-66) konsep itu masih bersifat
generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut terkafer di
dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan
yang bersifat fisik dan material.
Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa
perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada
makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih
sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak
pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib,
pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran,
dan pengasuhan yang baik. Karena itu, di luar istilah ta’dib, bagi
al-Attas tidak perlu pakai.
Sebuah pemaknaan dari konsep ta’dib ini,
al-Attas beranggapan bahwa diri manusia adalah sabyek yang dapat didik,
disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Penekanan pada segi
adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak
disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas
nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni
nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi
kepentingan dan kemaslahatan umat manusia (Kholiq, 1999: 280-281).
D.
Tujuan Pendidikan Islam
Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia”
sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah
menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di
samping, tujuan pendidikan Islam yang menitik beratkan pada pembentukan aspek
pribadi individu, juga mengharapkan pembentukan masyarakat yang idel tidak
terabaikan. Seperti dalam ucapannya, ...karena masyarakat terdiri dari
perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar
diantaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat
yang baik.
Secara ideal, al-Attas menghendaki
pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan
al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni,
sebagai Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil
Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan
ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat
Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Saw.
Dengan harapan yang tinggi, al-Attas
menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan
kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan
bercermin kepada ketauladanan Nabi Saw. Pandangan al-Attas tentang masyarakat
yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi,
salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas
pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik.
Karena masyarakat kumpulan dari individu-individu.
E.
Corak Pemikiran Pendidikan
Al-Attas
Apabila
ditelaah dengan cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh
Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam
sebagai suatu sistem pendidikan terpadu.
Hal
tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan
pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus
mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil).
Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan
dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan
patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa
misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir
dan amalnya (achmadi, 1992: 130). Maka untuk menghasilkan manusia seimbang
bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam
mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu.
Indikasi
lain yang mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas
menghendaki terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam
rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas
upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam,
artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya
tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan
filosofis.
Dari
deskripsi di atas, dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan
Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang
tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal tersebut
terlihat dalam konsepsinya tentang Ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup
konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan
posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat
mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan
ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran
agama.
Hal
itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang
ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek
kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan aspirasi
pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Karena
dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek transendental, yaitu
domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang
dikembangkan B.S.Bloom dkk. (Muhaimin, 1991 : 1971: 72-73).
Domain
iman amat diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam tidak hanya
menyangkut hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra
rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari
dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist. Domain
iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup
peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang
dilakukan.
F.
Sistem Pendidikan Islam
Sebagaimana yang tertuang dalam tujuan
pendidikan Islam di atas, bahwa al-Attas mendeskripsikan tujuan tersebut adalah
mewujudkan manusia sempurna secara universal. Dengan begitu, berarti sistem
pendidikan Islam harus memahami seperangkat bagian-bagian yang terkait satu
sama lain dalam sistem pendidikan.
Al-Attas berpandangan bahwa manusia
terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani, maka ilmu juga terbagi dua
katagori, yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu ilahi), dan ilmu capaian
(yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman dan riset manusia) Al-Attas membuat
skema yang menjelaskan kedudukan manusia dan sekaligus pengetahuan. Bahwa pada
dasarnya ilmu pengetahuan menurut dia, adalah berian Allah (God Given)
dengan mengacu pada fakultas dan indra ruhaniayah manusia. Sedangkan ilmu
capaian mengacu pada tingkatan dan indra jasmaniyah.
Menurut al-Attas, bahwa akal merupakan
mata rantai yang menghubungkan antara yang jasmani dan yang ruhani, karena akal
pada hakikatnya adalah substansi ruhaniyah yang menjadikan manusia bisa
memahami hakikat dan kebenaran ruhaniyah. Dengan kata lain, dia mengatakan
bahwa ilmu-ilmu agama merupakan kewajiban individu yang menjadi pusat jantung
diri manusia.
Karena itu, dalam sistem pendidikan Islam
tingkat (rendah, menengah, dan tinggi ) ilmu fardlu ain harus
diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, melainkan juga pada tingkat menengah
dan tingkat universitas. Karena universitas menurut al-Attas merupakan cerminan
sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus di
dahulukan. Seperti yang dijelaskan al-Attas (1991: 41) ruang lingkup dan
kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa
diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang lebih sedikit secara berurutan
ketingkat yang lebih rendah mengingat tingkat universitas mencerminkan
perumusan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus
didahulukan.
G.
Aktualisasi konsep Al-Attas
dalam pendidikan Islam masa kini
Berdasarkan
pada fenomena dan kondisi obyektif dunia pendidikan masa kini pada umumnya dan
pendidikan Islam pada khususnya, maka pemikiran pendidikan Islam yang
terformula dalam konsep ta’dib yang ditawarkan Al-Attas, sungguh memilki
relevansi dan signifikansi yang tinggi serta layak dipertimbangkan sebagai
solusi alternatif untuk diaktualisasikan dan di implementasikan dalam dunia pendidikan
Islam. Karena pada dasarnya ia merupakan konsep pendidikan yang hendak
mengintegrasikan dikhotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan-equilibrium, bercorak moral dan religius.
Secara
ilmiah Al-Attas telah mengemukakan proposisi-proposisinya sehingga menjadi
sebuah konsep pendidikan yang sangat jelas. Sehingga bukanlah suatu hal yang
naif bahwa statement Al-Attas ini merupakan sebuah jihad intelektual dalam
menemukan paradigma pendidikan Islam. Bila dicobakan untuk berdialog dengan
filsafat ilmu, apa yang diformulasikan oleh Al-Attas dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik dari dataran ontologis, epistemologis
maupun aksiologis.
H. Klasifikasi Ilmu al-Attas
Al-Attas mengklasifikaskan ilmu menjadi
dua macam, yakni ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan
filosofis. Yang termasuk ilmu-ilmu agama misalnya: al-Qur’an; (pembacaan dan
penafsirannya). Al-Sunnah; (kehidupan Nabi, sejarah dan pesan para rasul
sebelumnya, hadits dan riwayat-riwayat otoritasnya). Al-Syari’ah; (Undang-undang
das hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam; Islam, iman ihsan).
Teologi (Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, serta
tindakan-tindakan-Nya). Tasawuf (Pikologi, kosmologi, dan antologi), dan ilmu
bahasa atau Linguistik (bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan
kesusatraan).
Sedangkan yang termasuk ilmu rasional dan
sejenisnya adalah ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu alam, dan ilmu-ilmu terapan.
Menururt al-Attas, bagian yang termasuk ilmu kemanusian seharusnya ditambah
dengan pengetahuan Islam. Karena semua disiplin ilmu harus bertolak
kepada Islam. Karena itu ia menganjurkan agar pengetahuan tersebut ditambahkan
disiplin-disiplin baru yang berkaitan dengan hal berikut ini:
1.
Perbandingan agama dari sudut Islam
2.
Kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya kebudayaan
dan peradaban yang selama ini dan di masa datang berbenturan dengan Islam.
3.
Ilmu-ilmu linguistik; bahasa-bahasa Islam, tata bahasa,
dan literatur.
4.
Sejarah Islam; pemikiran kebudayaan dan peradaban Islam,
perkembangan ilmu-ilmu sejarah Islam, filsafat-filsafat sains Islam, Islam
sebagai sejarah dunia (al-Attas, 1990:91)
I. Pandangan Dunia al-Attas
Menurut
al-Attas, “pengetahuan” (`ilm) tak dapat didefinisikan secara ketat. Dia hanya
dapat dijelaskan, dan penjelasan ini hanya lebih mengacu kepada sifat-sifat
dasar pengetahuan tersebut. Kemudian dia menyatakan bahwa setiap pengetahuan
berasal dari Allah, yang ditafsirkan oleh fakultas-fakultas manusia (akal,
rasio, qalb). Karena itu pengetahuan yang dimiliki manusia adalah tafsiran
terhadap pengetahuan dari Allah. Dan karena itu pula, menurut al-Attas, dilihat
dari sumber hakiki pengetahuan tersebut, pengetahuan adalah kedatangan makna
sesuatu objek pengetahuan ke dalam jiwa.
Pandangan
dunia yang dirumuskan oleh al-Attas tampak lebih memiliki signifikansi kalau
dikaitkan dengan gagasan Islamisasi ilmu-ilmu sosial atau humaniora-ketimbang
dengan ilmu-ilmu alam. Sebab ilmu-ilmu ini pada tataran yang paling dasar
menyangkut masalah manusia, masyarakat, serta hubungan antara keduanya, di mana
persoalan ini sedikit banyak telah banyak dikemukakan oleh al-Attas dalam
beberapa karyanya.
Di
sini, (Muzani, 1991:93) al-Attas lebih melihat dominasi individu terhadap
masyarakat daripada kebalikannya,dan tidak tampak ke arah sintesis dari
keduanya, karena ia meyakini pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat akan
menjadi baik apabila individu baik (al-Attas, 1978: 118). Pada titik ini pula,
ia menyerang pada modernis, yang dianggapnya lebih menekankan telaahnya pada
masalah umat ketimbang individu, dan pada persoalan sosial-politik ketimbang
perbaikan mental individual. Kritik ini tampak jelas dalam kutipan berikut ini:
Kerena
mereka (para modernis) tidak pernah benar-benar mendalami secara intelektual
dan secara spiritual, maka mereka melibatkan lebih dahulu dalam sosiologi dan
politik. Pengalaman mereka tentang kemunduruan dunia Islam dan pecahnya
kemaharajaan Muslim telah membuat mereka menaruh perhatian banyak terhadap Ibn
Khaldun, dan mereka memusatkan perhatian pada konsep ummah dan negara dalam Islam.
Mereka memang lalai untuk meletakkan tekanan lebih besar atas konsep individu
dan peranan individu dalam mewujudkan dan membangun ummah dan negara Islam.
Pandangan
ini dipengaruhi oleh dasar keyakinannya. Menurutnya, secara emanasi, kebaikan
dan kebenaran (yang bersumber dari Tuhan) melimpah lebih dahulu melalui
individu, karena individu menempati posisi lebih tinggi dalam hirarki realitas
dibandingkan masyarakat. Karena itu, yang utama adalah memperbaiki mental
individu, dan dengan baiknya mental individu maka dengan sendirinya masyarakat
akan menjadi baik. Kebaikan masyarakat adalah cerminan dari kebaikan
individu-individu.
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HASAN LANGGULUNG
- Biografi
dan Riwayat Pendidikan Hasan Langgulung
Nama
lengkapnya adalah Hasan
Langgulung, lahir di
Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal
16 Oktober 1934. Ayahnya bernama
Langgulung dan ibunya bernama Aminah Tanrasuh.
Hasan
Langgulung muda menempuh
seluruh pendidikan dasarnya
di daerah Sulawesi, Indonesia. Ia
memulai pendidikan dasarnya
di Sekolah Rakyat
(SR) dan sekarang setingkat Sekolah Dasar (SD) di
Rappang, Sulawesi Selatan. Kemudian melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Islam
dan Sekolah Guru Islam di Makasar
sejak tahun 1949 sampai tahun 1952 serta menempuh B.I. Inggris di Ujung
Pandang, Makasar.
Perjalanan pendidikan
internasionalnya dimulai ketika
ia memutuskan hijrah ke Timur Tengah
untuk menempuh pendidikan sarjana
muda atau Bachelor of Arts (BA) dengan spesialisasi Islamic
and Arabic Studies
yang beliau peroleh
dari Fakultas Dar al-Ulum, Cairo University, Mesir pada tahun 1962. Setahun kemudian ia sukses
menggondol gelar Diploma of
Education (General) dari
Ein Shams University, Kairo. Di
Ein Shams University Kairo pula ia
mendapatkan gelar M.A. dalam bidang
Psikologi dan Kesehatan
Mental (Mental Hygiene) pada
tahun 1967.
Sebelumnya, ia juga sempat memperoleh
Diploma dalam bidang Sastra Arab Modern dari Institute of Higher Arab Studies,
Arab League, Kairo, yaitu di tahun 1964.
Kecintaan dan kehausan Hasan
Langgulung pada ilmu
pengetahuan tak membuatnya puas
dengan apa yang telah
ia peroleh di Timur Tengah.
Beliau pun melanjutkan pengembaraan
intelektualnya dengan pergi
ke Barat. Hasilnya
gelar Doctor of Philosophy
(Ph.D) dalam bidang
Psikologi diperoleh dari University of Georgia, Amerika Serikat di tahun
1971.
Semasa
kuliah Hasan Langgulung
tak hanya mengasah
daya intelektualnya (kognisi)
saja, saat itu ia pun sudah menunjukkan talenta sebagai seorang aktivis dan
seorang pendidik. Hal ini dapat dibuktikan ketika ia diberi kepercayaan sebagai
Ketua Mahasiswa Indonesia di
Kairo tahun 1957. Antara
tahun 1957 hingga
1967 ia mengemban amanah
sebagai Kepala dan Pendidik
Sekolah Indonesia di
Kairo. Kemampuan organisatorisnya semakin
matang ketika ia menjadi
Wakil Ketua Mahasiswa Indonesia
di Timur Tengah (1966-1967).
Pada
tanggal 22 September 1972, Hasan Langgulung melepas masa lajangnya dengan menikahi seorang perempuan
bernama Nuraimah Mohammad
Yunus. Pasangan ini dikaruniai
dua orang putera dan
seorang puteri, yaitu Ahmad Taufiq, Nurul Huda, dan
Siti Zakiah. Keluarga ini
tinggal di sebuah
rumah di Jalan B
28 Taman Bukit, Kajang, Malaysia.
- Riwayat
Pekerjaan Hasan Langgulung
Selepas
kuliah aktivitas beliau
semakin padat. Ia
seringkali menghadiri
berbagai persidangan dan
konferensi baik sebagai
pembicara ataupun peserta
yang diadakan di dalam
maupun di luar
negeri seperti di
Amerika Serikat, Jepang, Australia, Fiji, Timur Tengah,
beberapa negara di Eropa, di samping negara-negara di wilayah ASEAN sendiri.
Pengalamannya sebagai pengajar dan
pendidik dimulai sejak ia masih kuliah di Mesir, yaitu sebagai kepala sekolah
Indonesia di Kairo (1957-1968). Saat di Amerika Serikat, ia pernah dipercaya
sebagai asisten pengajar
dan dosen di
University of Georgia (1969-1970)
dan sebagai asisten
peneliti di Georgia
Studies of Creative Behaviour, University of Georgia,
Amerika Serikat (1970-1971). Asisten Profesor di Universitas Malaya, Malaysia
(1971-1972). Ia juga pernah diundang sebagai Visiting Professor di
University of Riyadh, Saudi Arabia (1977-1978), Visiting Professor di
Cambridge University, Inggris,
serta sebagai konsultan
psikologi di Stanford Research Institute, Menlo Park,
California, Amerika Serikat.
Selain
sebagai pengajar, peneliti dan konsultan, beliau juga menggeluti dunia jurnalistik. Ia tercatat sebagai pimpinan beberapa majalah
seperti Pemimpin Redaksi Majalah
Jurnal Pendidikan yang
diterbitkan oleh Universiti
Kebangsaan Malaysia (UKM).
Anggota tim redaksi
pada majalah Akademika untuk
Social Sciences and Humanities, Kuala Lumpur. Anggota redaksi
majalah Peidoprise, Journal for Special Education, yang diterbitkan di
Illinois, Amerika Serikat. Beliau juga tercatat sebagai anggota American
Psychological Association (APA)
dan American Educational Research Association Muslim.
Beliau pernah mengajar di Universiti
Kebangsaan Malaysia sebagai professor senior dalam beberapa tahun dan sekarang
beliau mengajar di Universiti Islam Antara Bangsa Kuala
Lumpur, Malaysia juga
sebagai professor senior
(2002). Beliau mendapatkan penghargaan
Profesor Agung (Royal
Profesor) pada tahun
2002 di Kuala Lumpur, Malaysia
oleh masyarakat akademik dunia.
Prof.
Dr. Hasan Langgulung
menerima berbagai macam
penghargaan internasional. Namanya tercatat dalam berbagai buku
penghargaan seperti: Directory of American Psychological Association, Whoís Who
in Malaysia, International Whoís Who of Intellectuals, Whoís Who in The World,
Directory of International Biography, Directory
of Cross-Cultural Research
and Researches, Men
of Achievement, The International Book
of Honor, Directory
of American Educational
Research Association, The International Register Profiles, Whoís Who in
The Commonwealth, Asia Whoís Who of
Men and Women of
Achievement and Distinction, Community Leaders of
The World, Progressive
Personalities in Profile
dan beberapa penghargaan lainnya.
- Karya-karya
Hasan Langgulung
Prof. Dr. Hasan Langgulung telah menghasilkan puluhan karya ilmiah dengan menggunakan bahasa
Indonesia (Melayu), bahasa
Arab maupun bahasa
Inggris berupa karya terjemahan,
buku, makalah dan
berbagai artikel yang
tersebar di berbagai majalah di
dalam dan luar
negeri. Tulisannya membahas
berbagai macam persoalan yang berkisar
tentang Pendidikan, Psikologi, Filsafat dan Islam. Di antara karya-karyanya tersebut,
yaitu:
1)
Thesis M.A. : Al-Murahiq al-Indonesiy;
Ittijahatuh wa Darajatutawafuq Indahu (Remaja Indonesia;
Sikap dan Penyesuaiannya)
2)
Disertasi Ph.D. : A
Cross-Cultural Study of
The Childís Conception
of Situational Causality in
India, Western Samoa,
Mexico, and The
United States, kemudian diterbitkan oleh Journal of Social Psychology:
USA, 1973
3)
The Development
of Causal Thinking of Children in Mexico
and The United States, USA: The Journal of Cross-Cultural Studies, 1973
4)
The Curriculum
Reform of General
Education in Higher
Education in Southeast Asia,
Bangkok: ASAIHL, 1974
5)
The Self;
Concept of Indonesian
Adolescene, Malaysia: Jurnal Pendidikan, 1975
6)
Social Aims
and Effect of
Higher Education, Kuala
Lumpur: Economic & Business
Studentís Association in Southeast Asia, 1973
7)
Beberapa Aspek
Pendidikan Ditinjau dari Segi Islam, Kuala Lumpur: Majalah Azzam, 1974
8)
Belia,
Pendidikan dan Moral, Kuala Lumpur: Dewan Masyarakat, 1977
9)
Al-Ghazali dan
Ibnu Thufail Vs Rousseau dan Pioget, Kuala Lumpur: Majalah Jihad, 1976
10) Pendidikan Islam akan Kemana?, Kuala Lumpur: Cahaya Islam,
1977
11) Peranan
Ibu-Bapa dalam Pendidikan
Keluarga, Kuala Lumpur:
Al-Ihsan, 1977
12) Falsafah
Pendidikan Islam, terjemahan
dari karya Omar
Mohammad al-Toumy al-Syaibany,
Jakarta: Bulan Bintang, 1979
13) Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam,
Bandung: Al-Maíarif, 1980
14) Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Al
Husna, 1985, Cet. III
15) Manusia dan
Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta, Al Husna Zikra, 1986
16) Teori-teori Kesehatan Mental, Jakarta: Pustaka Al Husna,
1983
17) Kreatifitas
dan Pendidikan Islam; Analisis
Psikologi dan Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1991
18) Peralihan
Paradigma dalam Pendidikan
Islam dan Sains
Sosial, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002
19) Asas-asas
Pendidikan Islam, Jakarta:
Pustaka Al Husna
Baru, 2003, Edisi Revisi (Cet. V)
20) Pendidikan Islam dalam
Abad 21, Jakarta:
Pustaka Al Husna
Baru, 2003, Edisi Revisi (Cet.
III).
Konsep
Pendidikan Islam Menurut Hasan Langgulung
- Esensi
Dan Pengertian Pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung istilah
pendidikan yang dalam bahasa inggris adalah education, berasal dari
bahasa latin yaitu educere, yang berarti memasukkan sesuatu, barangkali
memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Dalam hal ini menurut beliau ada tiga hal
yang terlibat yaitu: ilmu, prosese memasukkan ke kepala orang, jadi ilmu
itu memang masuk ke kepala.
Dalam makna yang lebih luas Hasan
Langgulung mengartikan pendidikan sebagai usaha memindahkan nilai-nilai
kebudayaan kepada setiap individu dalam masyarakat. Dengan kata lain Hasan Langgulung juga
mengatakan bahwa pendidikan suatu tindakan (action) yang diambil oleh
suatu masyarakat, kebudayaan, atau peradaban untuk memeliahara kelanjutan
hidupnya. Selanjutnya menurut Hasan Langgulung menjelaskan bahwa
pendidikan itu amat penting bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia
ini agar mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan.
Sebagai sesuatu yang sangat urgen,
maka fungsi-fungsi pendidikan itu beliau ungkapkan sebagai berikut :
1. Menyiapkan generasi mudah untuk
memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang.
Peranan disini berkaitan dengan kelanjutan hidup (survival)
masyrakat itu sendiri.
2. Memindahkan ilmu pengetahuan yang
bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dengan generasi tua kepada
generasi muda.
3. Memindahkan nilai-nilai yang
bertujuan untuk memelihara keutuhan dan kesatuan masyrakat yang menjadi syarat
mutlak untk kelanjutan hidup (survival) suatu masyarakat dan
peradaban.
Sebagai sebuah proses pemindahan
nilai-nilai pada suatu masyarakat kepada setiap individu yang ada didalamnya,
maka proses pendidikan tersebut menurut Hasan Langgulung dapat dilakukan dengan
macam-macam jalan, yakni :
1. Melalui Pengajaran, dalam hal ini berarti
pemindahan pengetahuan atau knowledge.
2. Melalui Latihan
3. Melalui Indokrinasi yaitu proses
yang melibatkan seseorang meniru atau mengikuti apa yang
diperintahkan oleh orang lain.
Dalam memberikan pengertian terhadap
pendidikan, Hasan Langgulung juga memandangnya dari tiga segi, yakni :
1. Dari sudut pandangan masyarakat.
2. Dari segi pandangan individu.
3. Dari segi proses antara individu dan
masyarakat.
Untuk
membahas lebih jauh tiga point di atas : Pertama, dari seegi
pandangan msyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua
kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan.
Atau dengan kata lain, menurut
beliau, masyarakat mempunyai nilia-nilai budaya yang ingin disalurkan dari
generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara. Nilai-nilai
yang ingin disalurkan itu bermacam-macam, ada yang bersifat intelektual, seni,
politik, dan lain-lain.
Kedua, dilihat dari segi individu,
pendidikan menurut Hasan Langgulung berarti pembangunan potensi-potensi yang
terpendam dan tersembunyi. Dalam hal ini Hasan Langgulung mengibaratkan
individu laksana lautan yang dalam penuh mutiara dan bermacam-macam ikan,
tetapi tidak tampak. Ia masih berada di dasar laut, ia perlu dipancing dan di
gali supaya dapat menjadi makanan dan perhiasan bagi manusia. Potensi, bakat
ataupun kemampuan individulah yang dituntun untuk menggali mutiara tersebut dan
mengubahnya menjadi emas dan intan sehingga menjadi kekayaan yang berlimpah
untuk kemakmuran masyarakat.
Dalam istilah lain berkenaan dengan
pemahaman, Hasan Langgulung tentang pendidikan dilihat dari individu,
pendidikan adalah proses menampakkan (manifestasi) aspek-aspek yang
tersembunyi (latent) pada anak didik.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kemakmuran suatu masyarakat bergantung kepada kesanggupan masyarakat
tersebut menggarap kekayaan yang terpendam pada setiiap individunya. Dengan
kata lain, kemakmuran masyarakat tergantung kepada keberhasilan pendidikannya
dalam menggarap kekayaan yang terpendam pada setiap individu.
Ketiga, dilihat dari segi proses (transaksi),
maka pendidikan itu menurut Hasan Langgulung adalah proses memberi dan
mengambil, antara manusia dan lingkungannya dalam rangka mengembangkan dan
menciptakan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk merubah dan
memperbaiki kondisi-kondisi kemanusiaan dan lingkungannya. Dalam istilah lain
beliau katakana sebagai interaksi antara potensi dan budaya, dimana kedua
proses ini berjalan sama-sama, isi mengisi antara satu dengan yang lain.
Hasan Langgulung juga sepakat dengan
tokoh pendidikan lain dalam menggunakan beberapa istilah dalam bahasa arab
untuk pendidikan. Menurut beliau, kata pendidikan dapat disebut juga dengan
ta’lim () sesuai dengan firman allah s.w.t. yang berbunyi:
zN¯=tæur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ
Dan
dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!"
- Dasar Pokok Dan Tujuan
Pendidikan Islam
Sebagai aktivitas yang bergerak
dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan
azas atau dasar yang dijanjikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan
memberikan arah bagi peleksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam
konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan
sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik kea
rah pencapaian pendidikan. oleh karena itu, dasar pokok yang terpenting dari
pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung adalah al-Quran dan hadits.
Ada beberapa alasannya kenapa
alquran dijadikan sebagai dasar pokok pertama dalam pendidikan Islam, yaitu :
1. Al-quran sangat menghormati manusia.
2. Al-quran memberikan bimbingan ilmiah
3. Isi al-quran tidak bertentangan
dengan fitrah manusia
4. Kisah (cerita) yang ada didalam
al-quran bertujuan sebagai pendidikan
5. Al-quran sangat memperhatikan dan
sekaligus memeliahara masalah-masalah sosial.
Selain
dari dua sumber dasar pokok pendidikan Islam diatas, sumber lain adalah qaul-alshabat (pendapat atau perkataan
sahabat), masalih ar-mursalah (suatu
persoalan dilihat tingkat maslahat dan segi positif yang dikandungnya), ‘urf (kebiaasaan atau adat yang sesuai
dengan ajaran Islam), dan pemikiran hasil ijtihad intelektual muslim (pendapat
tokoh-tokoh Islam pada zamannya).
Tujuan pendidikan pada dasarnya
merupakan perubahan yang diinginkan dan diusahan dalam proses pendidikan, baik
pada aspek tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya maupun kehidupan
bermasyarakat serta alam sekitarnya. Menurut Hasan Langgulung, tujuan
pendidikan merupakan perkara yang terpenting, sebab ia menentukan kandungan dan
metode pendidikan.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
menurut Hasan Langgulung haruislah berangkat dari berbagai dasar pokok
pendidikan yang pada hakekatnya adalah ajaran Islam itu sendiri. Adapun dasar-dasar
pokok pendidikan Islam itu yaitu:
1. Keutuhan (syumuliah)
2. Keterpaduan
3. Kesinambungan
4. Keaslian
5. Bersifat praktikal
6. Kesetiakawanan
7. Keterbukaan.
Lebih lanjut Hasan Langgulung mengatakan
bahwa berbicara tujuan pendidikan tak dapat tidak mengajak kita berbicara
tentang tujuan hidup, sebab pendidikan bertujuan untuk memelihara
kehidupan manusia. Oleh karena itu, perbincangan tentang tujuan juga mengharuskan
kita membicarakan sifat-sifat asal manusia menurut pandangan Islam, sebab pada
manusia itulah di cita-citakan sesuatu yang ditanmamkan oleh pendidikan.
Dengan demikian tujuan pendidikan Islam
adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan
akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung
bagi pelaksanaan fungsinya sebagai kholifah fi al-ardh. Lebih
tegas lagi Hasan Langgulung mengatakan sebagaimana yang diungkapkan H.M Taufik,
bahwa tujuan pendidikan Islam harus dirumuskan sebagai arah yang akan dituju
manusia secara esensi substansial, yakni kesempurnaan hidup sesuai citra bagi
peenciptaan manusia.
- Unsur-unsur Pendidikan Islam
- Tujuan Pendidikan Islam
Dalam
hal ini kata tujuan dan maksud digabungkan pengertian sekaligus. Tujuan
pendidikan Islam yaitu ada tujuan akhir, tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
akhir pendidikan Islam itu dapat di nyatakan sebagai berikut:
1. Persiapan dunia dan akhirat
2. Perwujudan sendiri sesuai dengan
pandangan Islam.
3. Persiapan menjadi warga negara yang
baik.
4. Perkembangan yang menyeluruh dan
berpadu bagi pribadi pelajar (tidak split
personality)
Senada
dengan pendapat diatas Haidar Putra Daulay menjelaskan ada 3 tujuan pokok pendidikan Islam
yaitu:
1. Tercapainya tujuan hubungan allah
dengan manusia.
2. Tercapanya tujuan hubungan manusia
dengan manusia
3. Tercapainya tujuan hubungan manusia
dengan alam.
- Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum merupakan penuntun bagi
guru dalam melakukan tugasnya sesuai dengan bidang studi serta tingkatan kelas
yang dihadapinya. Secara luas pengertian kurikulum dapat diartikan sebagai : “
Seluruh usaha sekolah untuk merangsang anak belajar, baik didalam kelas maupun
dihalaman sekolah atau diluar sekolah”.
Sedangkan menurut S nasution,
sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan. apa
yang direncanakan biasanya bersipat ideal, sesuatu cita-cita tentang manusia
atau warga Negara yang dibentuk. Apa yang dapat diwujudkan dalam kenyataan
disebut kurikulum real.
Begitu urgennya kurikulum dalam
pendidikan, banyak diantara para tokoh membuat konsep pemikiran tentang
kurikulum diantaranya adalah Hasan Langgulung sebagai seorang pemikir, Ia
merasa bertanggung jawab terhadap kemajuan pendidikan khususnya pendidikan Islam.
baginya kurikulum dapat menentukan dalam keberhasilan suatu pendidikan. karena
itu, baginya kurikulum pendidikan sangat berbeda dengan pendidikan modern yang
sekuler, dimana sebagai penentu kurikulum itu adalah kekuatan social yang
berkuasa pada suatu ketika jamannya, seperti abad 19 dan 20 sebagai penentu
kurikulum adalah ilmu saince dan teknologi sedangkan pada abad pertengahan
adalah agama Kristen, sedangkan sebelumnya sebagai penentunya seni. Berbeda
halnya dengan pendidikan Islam sebagai penentu arah kurikulum mulai dari
tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi adalah Al-qur’an dan hadist.
Artinya kurikulum pendidikan Islam tetap menjadikan Al-Qur’an dan hadist
sebagai trust penentu dalam menyusun pendidikan Islam.
Hasan Langgulung menjelaskan lebih
rinci bahwa kurikulum pendidikan Islam itu lebih dulu memahami fungsi agama
bagi Islam dalam kehidupan masyarakat dan individu pada umunya dapat
disimpulkan sebagai berikut :
- Fungsi spiritual yang berkaitan
dengan akidah dan iman
- Fungsi psikologis yang
berkaitan yang berkaitan dengan tingkahlaku individual termasuk
nilai-nilai akhlak yang mengangkat manusia ke derajat yang lebih sempurna.
- Fungsi social yang berkaitan dengan
aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lainnya atau
masyrakat, karena masing-masing menyadari hak-hak dan tanggungjawabnya
untuk membentuk masyarakat yang harmonis dan seimbang.
Ketiga fungsi agama diatas menurut Hasan
Langgulung harus tergambar dalam tujuan pendidikan Islam khususnya disekolah
menengah.
Lebih lanjut ia berbicara bahwa
tujuan pokok pendidikan Islam tersimpul dalam kata fadhilah (sifat yang
utama). Sedangkan jiwa pendidikan Islam adalah pendidikan akhlak, sebab tujuan
pertama dan utama pendidikan Islam adalah menghaluskan akhlak dan mendidik
jiwa.
Berdasarkan dari beberapa defenisi
diatas penulis berpendapat bahwa kurikulum merupakan tatanan materi yang
disusun oleh sekolah bagi anak didik guna mencapai tujuan pendidikan yang
diharapkan, kurikulum tersebut diberikan kepada anak sesuai tingkat
pendidikannya disekolah, jadi kurikulum yang diberikan oleh sekolah apabila
tidak sesuai dengan jenjang umur dan tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan
siswa maka kurikulum tersebut tidak dapat di distribusikan sesuai dengan yang
di butuhkan oleh siswa.
Hasan Langgulung menjelaskan
berbicara kurikulum paling tidak mencakup 4 point, yaitu:
1. Tujuan yang berasal dari falsafah,
2. Pengetahuan yang berasal dari teori,
3. Cara mengajarkan pengetahuan diambil
dari falsafah dan lain-lain,
4. Ditentukan melalui penilaian
(evaluasi)
- Peserta Didik
Peserta didik salah satu komponen
dalam system pendidikan Islam berbeda dengan komponen-komponen lain, dalam
system pendidikan peserta didik adalah orang yang sedang berada dalam fase
pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun pisikis, pertumbuhan dan
perkembangan merupakan ciri seorang peserta didik yang perlu bimbingan dari
seorang pendidik.
Samsul
Nijar mendeskripsikan 5 kriteria peserta didik yaitu:
1. Peserta didik bukanlah miniature
orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri.
2. Pesertadidik memiliki periodisasi
perkembangan dan pertumbuhan.
3. Peserta didik adalah makhluk allah
yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun
lingkungan dimana ia berada.
4. Peserta dididk merupakan dua unsur
utama jasmani dan rohani,unsur jasmani memiliki daya pisik dan unsur rohani
daya akal hati nurani dan nafsu.
5. Peserta didik adalah manusia yang
memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara
dinamis.
- Metode Pengajaran
Pengertian metode secara umum,
menurut kamus bahasa Indonesia berarti “ cara yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya), cara kerja
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
telah ditentukan.
Menurut Abdurrahman Mas’ud metode
diartikan sebagai cara dalam proses belajar mengajar bagi seorang guru serta
upaya perbaikan komprehensif dari semua elemen pendidikan. Pengertian lain
ialah tekhnik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan
pelajaran kepada siswa di dalam kelas baik secara individual maupun secara
kelompok/ klasikal, agar pelajaran itu dapat diserap, dipahami dan dimanfaatkan
oleh siswa dengan baik.
Hasan Langgulung memberikan
penjelasan tentang metode pengajaran adalah jalan untuk mencapai tujuan. Jadi
jalan itu bermacam-maccam, begitu juga dengan metode. Tidak ada metode yang
terbaik untuk segala pelajaran. Mungkin ada yang baik untuk matapelajaran
tertentu oleh guru tertentu dan oleh guru tertentu tetapi belum tentu untuk
metode dan guru yang berbeda. Hasan Langgulung secara luas menjelaskan bahwa
pelajaran agama Islam sendiri bukan hanya satu segi. Ada segi kognitif, seperti
tentang fakta-fakta sejarah, syarat dan rukun sembahyang dan ibadah lainnya.
Ini adalah fakta yang tidak berubah. Metode yang digunakan tentunya metode yang
digunakan seperti dalam mengajarkan fakta-fakta yang lain dalam ilmu yang lain.
Tetapi seperti diketahui aspek agama
yang lebih penting adalah akhlak yang termasuk dalam kawasan effektif dan
terbukti dalam ranah (wilayah) tingkah laku (behavioral). Tentunya metode yang
digunakan tidak bisa digunakan seperti metode pengajaran yang berhubungan
dengan fakta atau ranah kognitif.
Menumbuhkan cinta terhadap al-Qur’an
(ranah efektif) boleh dipakai dengan metode perlobaan (musabaqah) dan
perlombaan pidato. Aspek behavioral juga tidak dapat diajarkan dengan memamkai
metode penyampaian fakta, tetapi menyuruh murid dengan memainkan peran tertentu
(role playing) baik melalui pentas ataupun melalui persatuan di sekolah, atau
persatuan di bidang agama, dakwah, dimana masinh-masing diberi peranan tertentu
sesuai dengan tujuan untuk mencintai dan mengamalkan al-Qur’an.
Mengenai penggunaan alat-alat
belajar, tentu sangat berguna kalau kita gunakan peta-peta dan gambar-gambar,
seperti materi zakat dan haji. Dapat disimpulkan bahwa Hasan Langgulung berpendapat
bahwa metode pengajaran itu sangat kondisional dan situasional. Artinya seorang
guru bisa memilih dan menggunakan metode yang ada sebagai berikut :
1. Metode ceramah
2. Metode Tanya jawab
3. Metode diskusi
4. Metode pemberian tugas
belajar/reesitasi
5. Metode demonstrasi dan eksperimen
6. Metode kelompok
Hasan Langgulung pada kesempatan lain menjelaskan lebih
mendalam bahwa pengajaran meliputi :
- Manejerial, administrasi,
kepegawaian, pendidikan guru (teacher education), buku-buku teks (teks
book development).
- Tekhnologi pendidikan
(education technology), audio visual, teaching aid.
Metodologi mencakup seluruh aspek
proses belajar mengajar bisa lebih baik dengan kata lain, bagaimana (how), apa (what),
dan siapa (who). Artinya bagaimana metoda yang digunakan, apa materi
pelajarannya, siapa yang diajarkan dan siapa yang mengajar. Semua aspek ini
menurut Hasan Langgulung harus menjadi objek kajian metodologi pengajaran, jadi
tidak bisa dipisah satu dengan yang lain, karena kalau terpisah justru
mengakibatkan pemahaman yang tidak komprehensip.
- Tenaga Pendidik
Kami berpendapat bahwa untuk
memberikan defenisi operasional, tidak dapat tidak kita harus kembali meneliti
apa arti guru itu sendiri sebagai profesi dan fungsinya dalam masyarakat. Sebab
membincangkan tentang latihan guru dalam konteks dunia sekarang tanpa melihat
latar belakangnya, asal mulanya, dan sejarah perkembangannya, adalah laksana
orang yang mau menangkap ular hanya dengan memegang ekornya saja.
Bukan saja ular tidak akan
ditangkapnya tetapi ia juga akan membahayakan dirinya sendiri, kalau ular itu
akan berbalik mematuknya. Sekarang kita sering mendengar pepatah senjata makan
tuan, sepatutnya ia merupakan alat kita untuk mencapai tujuan, tetapi sebab
kita tidak tau asal usul senjata yang kita gunakan itu, kita meminjamnya dari
orang lain tanpa mengetaui cara menggunakannya, akhirnya kita menjadi
mangsanya. Begitu juga keadaan dengan guru sebagai sutu senjata untuk mencapai
tujuan pendidikan.
Dalam uraian singkat diatas, nampak
bagaimana konsep dan fungsi guru dalam masyarakat itu selalu berubah-ubah.
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murabbih, muallim dan muaddib.
Kata murabbih berasal dari kata rabba, yurabbi
Kata muallim isim fail dari ‘allama,
yuallimu sebagaimana ditemukan dalam
al-Qur’an (Q.S 2: 31.). sedangkan kata muaddib berasal dari addaba,
yuaddibu seperti sabda rasullah: “ allah mendidikku, maka ia
memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan”. demikianlah pendapat Hasan
Langgulung tentang pendidik dalam dunia pendidikan secara etimologi.
Sedangkan secara terminalogi adalah
pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik
sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang
dimiliki oleh manusia.
- Evaluasi Pendidikan Islam
Evaluasi pendidikan berasal dari
bahasa inggris evaluation, yang berarti tindakan atau proses untuk menentukan
nilai seseuatu. Atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan pendidikan. dalam bahasa arab evaluasi dikenal dengan
khataman sebagi cara menilai hasil akhir dari proses pendidikan.
Hasan Langgulung menjelaskan bahwa
evaluasi berhubungan erat dengan tujuan pendidikannIslam itu sendiri. Penilaian
berusaha menentukan apakah tujuan pendidikan itu sudah tercapai. Ia
mencontohkan evaluasi pendidikan itu seprti evaluasi menyetir mobil yaitu
muulai dari starter, memnekan gas, rem, isyarat lampu dan lain-lain. Jadi semua
harus diperiksa apakah masih ada membuat kesalahan atau tidak.
Jadi evaluasi pendidikan menurut Hasan
Langgulung tergantung tujuan yang ditetapkan dalam pendidikan, misalnya apakah
pendidikan itu untuk tujuan kerja berarti hanya yang mampu kerja saja yang
lulus ujian. Tetapi sebenarnya tujuan pendidikan Islam itu harus lebih luas
dari itu menurun Langgulung yaitu : berbakti kepada allah, maka criteria yang
digunakan adalah kebijaksanaan (wisdom), budi mulia (virlue).
Kesimpulan
Bagaimanapun hebatnya pemikiran seseorang
pasti memiliki kekurangan dan tidak sempurna, tak terkecuali paradigma
pendidikan Islam yang diformulasikan oleh Al-Attas dan Hasan Langgulung. Namun
apa yang digagas oleh mereka merupakan suatu komoditi berharga bagi
pengembangan dunia ilmu pendidikan Islam, baik dalam dataran teoritis maupun
praktis. Demikian pula dengan gagasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan
adalah ide yang penting untuk diperhatikan secara positif. Hal tersebut
bermuara pada tujuan agar menghindarkan umat manusia dari kesesatan disebabkan
oleh ilmu yang sudah ada terpola secara filsafat Barat yang sekuler.
Selanjutnya bagaimana konsepsi tersebut menemukan formatnya secara konkrit dan
operasional.
Secara akademis pemikiran kritis dan
inovatif seperti yang dilakukan Al-Attas, dalam konteks demi kemajuan dunia
pendidikan Islam merupakan suatu keniscayaan, conditio sine quanon untuk ditumbuhkembangkan
secara terus menerus. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Hasan Langgulung.
Hal tersebut merupakan konsekwensi dan refleksi rasa tanggung jawab manusia
yang memiliki fungsi dan tugas utama sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Naquib.1994.Konsep Pendidikan Dalam Islam,
Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir. cet.IV.
Bandung: Mizan.
________, 1995. Islam dan Filsafat Sains, terj.
Saiful Muzani, Bandung: Mizan.
________, 1978. Islam and Secularism, Kuala
Lumpur: ABIM.
Al-Faruqi, Ismail Raji.1984. Islamisasi Pengetahuan,
terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka.
Al-Nahlawi,
Abdurrahman. 1989. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, Bandung:
Diponegoro.
Arifin, Syamsul, dkk., 1996. Spiritulituasasi Islam
dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarya: Sipress.
Esposito, John L., 2001, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam
Modern, Bandung: Mizan.
http://belajarIslam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=338:pemikiran-pendidikan-menurut-sm-naquib-al-attas&catid=70:sains&Itemed=118.html
Ismail SM. dkk.
[ed.]. 2001. Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ismail SM. Paradigma Pendidikan Islam, Prof. Dr. Syed
Naquib al-Attas, dalam Abdul Kholiq, dkk., 1999. Pemikiran
Pendidikan Islam, kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Langgulung,
Hasan.2003. Asas-asas Pendidikan Islam.Jakarta
: Pustaka Al Husna Baru. Cet. V
Muhaimin, dkk.
1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar
Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.
Muzani, Saiful.1991.Pandangan
Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Atta.dalam Jurnal
Hikmah, No. 3 Juli-Oktober 1991.
Al-Syaibany, Oemar M. Al-Thoumy.1979.Falsafah Pendidikan Islam.Alih bahasa Hasan
Langgulung. Jakarta : Bulan Bintang
Muhadjir, Noeng.1987.Ilmu Pendidikan dan Perubahan
Sosial: suatu teori pendidikan.Yogyakarta : Rake Sarasin.
Muhaimain.1991.Konsepsi Pendidikan Islam,
Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum.Solo : Ramadhani
No comments:
Post a Comment