A. Asal usul mu’tazillh
Kata mu’tazillah berasal dari kata I’tizal yang
artinya memisahkan dirinya. Sedangkan mu’tazillah adalah berpisah atau memisahkan
diri.secara istilah mu’tazillah menunjuk kepada dua golongan. Golongan pertama
( selanjutnya disebut mu’tazillah ) muncul sebagai respon politik, khususnya
dalam arti bersikap lunak dalam mengenai pertentangan Ali bin Abi Thalib dengan lawan-lawannya,
terutama dengan Muawiyah,Aisyah dan Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang
mula-mula di sebut kaum mu’tazillah karena mereka menjauhkan diri dari
pertikaian masalah khalifah.
Golongan
kedua ( selanjutnya disebut mu’tazillah
II ) muncul sebagai respon persoalan bagi
teologi yang berkembang dikalangan khawarij dan murji’ah akibat adanya
peristiwa takhim.golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan
golongan khawarij dan murji’ah tentang status kafir kepada orang yang berdosa
besar .
Al-mas’udi mengatakan bahwa asal usul kemunculan
mu’tazillah karena orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir,
tetapi menduduki tempat diantara kafir
dan mukmin ( al-manzilah baina manzilatain ).dalam artian mereka memberi status
orang yang berdosa besar jauh dari golongan orang mukmin dan kafir.
Ada seorang ulama terkanal bernama Hasan Basri yang menyelengarakan
pelajaranya di masjid kota Basra. Diantara muridnya yang terbilang pandai adalah
washil bin Atho’.suatu hari imam Hasan Al-Basri ini menerangkan bahwa seorang
islam yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, kemudian orang itu melakukan dosa
besar, lalu meningal sebelum bertobat. Menurut imam Hasan Al-Basri orang itu
tetap muslim, hanya saja muslim yang durhaka.di akirat kelak dia masuk ke
neraka untuksementara wakru guna menerima hukuman atas perbuatan dosanya itu
sampai batas waktu tertentu. Sesudah menjalani hukuman itu dia di keluarkan
dari neraka, kemudian dimasukan kedalam surga. Washil bin Atho’ setelah
menyatakan berbeda pendirian dengan gurunya itu lalu di keluarkan dari majlis
sendiri di suatu sudut masjid Basrah itu. Karena itu majlis di namakan kaum Mu’tazillah
sebsb memisahkan diri dari jamaah majlis gurunya yaitu imam hasan Al-Basri.
Washil diikuti oleh seorang temannya bernama Amir bin Ubaid. Sewaktu timbulnya Mu’tazillah,
karena kekuasaan di pegang khalifah Hisyam bin Abdul Malik dari Bani Umayah.[1]
B. Perkembangannya Mu’tazilah.
Mu'tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakkan
diatas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad ke dua
hijriyah tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di
kota bashroh di bawah pimpinan Waashil bin Atho' Al Ghozaal. Kelompok atau sekte
ini berkembang dan terpengaruh oleh bermacam-macam aliran pemikiran yang
berkembang dimasa itu sehingga didapatkan padanya kebanyakan pendapat mereka
mengambil dari pendapat aliran pemikiran Jahmiyah, kemudian berkembang dari
kota Bashroh yang merupakan tempat tinggalnya Al Hasan Al Bashry, lalu menyebar
dan merebak ke kota Kufah dan Baghdad,akan tetapi pada masa ini mu'tazilah
menghadapi tekanan yang sangat berat dari para pemimpin bani umayah yang
membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat terhambat penyebarannya sehingga
hal itu membuat mereka sangat membenci Bani Umayah karena penentangan mereka
terhadap mazhab (aliran) mu'tazilah dan i'tikad mereka dalam permasalahan qadar
bahkan merekapun tidak menyukai dan tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin
Bani Umayah kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun
126 H ) karena dia mengikuti dan memeluk mazhab mereka.
Dalam hal ini berkata Al Mas'udy :Yazid bin Al Waali
telah bermazhab dengan mazhab Mu'tazilah dan pendapat mereka tentang lima pokok
(ajaran mereka) yaitu At Tauhid, Al Adl, Al Wa'iid, Al Asma wal Ahkam -yaitu
pendapat Manzilah baina Al Manzilatain -dan amar ma'ruf nahi mungkar dan
berkata lagi:(sehinga Mu'tazilah mengedepankan Yazid bin Al Waalid dalam sisi
keagamaan dari Umar bin Abdul Aziz.
Permusuhan dan perseteruan antara Bani Umayah dengan
Mu'tazlah ini berlangsung terus menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan
Bani Umayyah dan tegaknya kekuasaan Bani Abasiyah, kemudian bersamaan dengan
berkembangnya kekuasaan Bani Abasiyah, berkembanglah Mu'tazilah dengan mulainya
mereka mengirim para dai dan delegasi-delegasi ke seluruh negeri Islam untuk
mendakwahkan mazhab dan i'tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang
memegang peran besar dan penting dalam hal ini adalah Waashil bn Atho'. Dan
kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka dengan syiar dan manhajnya
memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Bani
Abasiyah khususnya pada zaman Al Ma'mun yang condong mengikut aqidah mereka,
apalagi ditambah dengan persetujuan Al Ma'mun terhadap pendapat mereka tentang
Al Quran itu Makhluk sampai-sampai Al Ma'mun mengerahkan seluruh kekuatan
bersenjatanya untuk memaksa manusia untuk mengikuti dan meyakini kebenaran
pendapat tersebut, lalu beliau mengirimkan mandat kepada para pembantunya di
Baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para hakim, Muhadditsin dan seluruh
Ulama dengan pendapat bahwa Al Qur'an adalah makhluk, demikian juga beliau
memerintahkan para hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak
berpendapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah
fitnah yang sangat besar. Diantara para ulama yang mendapatkan ujian dan cobaan
ini adalah Al imam Ahmad bin Hambal -dan kisah beliau ini sangat terkenal-,
akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan pendapat Ahli Sunnah wal
Jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al Qur'an adalah kalamullah dan bukan
makhluk.
Mu'tazilah terus mendapat perlindungan dan bantuan
dari para penguasa Bani Abasiyah dari zaman Al Ma'mun sampai zaman Al Mutawakil
dan pada zaman tersebut sekte mu'tazilah dijadikan mazhab dan aqidah resmi
negara, satu faktor yang membuat mereka mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan
mampu menekan setiap orang yang menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan
padang sebagai ganti dari hujjah dan dalil. Maka berkembanglah aliran ini di
negeri-negeri muslimin dengan bantuan dari sebagian pemimpin-pemimpin Bani
Abasyah.[2]
Kemudian mereka terpacah menjadi
dua cabang:
1) Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti
Waashil bin Atho', Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al 'Alaaf,
Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu
Ali Aljubaa'i, Abu Hasyim Al Jubaa'i dan yang lain-lainnya.
2) Cabang Baghdad,
yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu'tamir, Abu Musa Al
Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja'far bin Harb, Ja'far
bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al Balkhy
Al Ka'by dan yang lain-lainnya.
Sebenarnya faktor
yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan memperdalam ilmu kalam adalah
untuk membalas hujjah dengan hujjah dan untuk menghancurkan hujjah-hujjah para
musuh Islam serta untuk membantah semua tuduhan dan kebohongan mereka sehingga
akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam mengutamakan dan mengedepankan ilmu ini
atas semua ilmu yang selainnya, lalu mereka menjadikannya sebagai satu-satunya
cara untuk menentukan adanya Allah dan Rububiyah-Nya, hujah-hujah kenabian dan untuk
mengenal sunnah dari bid'ah, sebagimana yang dikatakan Al Jaahidz: dan sesuatu
apakah yang lebih agung dari segala sesuatu, seandainya tidak karena
kedudukannya, tidaklah dapat ditetapkan kerububiyahan-Robb, tidak dapat
ditegakkan hujjah-hujah kenabian dan tidak dapat dipisahkan antara hujjah
dengan syubhat, dalil dengan apa yang terbayangkan dalam bentuk dalil.
Dengannya dapat dikenal Al Jamaah dari Al Firqoh (kelompok yang menyempal) dan
sunnah dari bid'ah serta keanehan dari yang masyhur.
Walaupun mu'tazilah
telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami kehidupan akal
sejak abad ke dua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak mendapatkan
keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan
dalam bidang tersebut. Hal ini tampaknya terjadi karena mereka tidak mengambil
sumber manhaj mereka dari Al Qur'an dan As Sunnah, bahkan mereka mendasarinya
dengan bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh pemikran filsafat
yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran. Sebab setiap pemikiran yang tidak
diterangi dengan manhaj kitabullah dan Sunnah Nabi dan jalannya para Salaf Ash
Sholeh maka akhirnya adalah kehancuran dan kesesatan walaupun demikian
hebatnya, karena mengambil sumber dan penerangan dari Al Kitab dan Sunnah akan
menerangi jalannya akal sehingga tidak salah dan tersesat dan berjalan dengan
jalannya para salafus sholeh adalah pengaman dari kesesatan dan penyimpangan
karena mereka telah mengambil sumber mazhabnya dari sumber-sumber yang murni
dari Al Kitab yang tidak terdapat padanya satu kebathilanpun dan dari As Sunnah
yang barang siapa yang berpegang teguh dengannya berarti telah berada pada
hujjah yang terang benderang.
Berkata Shodruuddin
Ibnu Abil Izzi Al Hanafy dalam mengomentari ahlil kalam yang menta'wil
nash-nash Al Kitab dan As sunnah dengan akal-akal mereka, diantaranaya
Mu'tazilah dan sebab kesesatan mereka adalah berpalingnya mereka dari meneliti
kalamullah dan kalam Rasulillah dan menyibukkah diri dengan kalam Yunani dan
bermacam-macam aliran pemikiran yang ada.
Oleh karena itu
keutuhan dan kekelanggengan adalah miliknya Ahlissunnah dan kehancuran adalah
miliknya Mu'tazilah sebagai aplikasi dari firman Allah :
tAtRr& ÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ôMs9$|¡sù 8ptÏ÷rr& $ydÍys)Î/ @yJtGôm$$sù ã@ø¡¡9$# #Yt/y $\Î/#§ 4 $£JÏBur tbrßÏ%qã Ïmøn=tã Îû Í$¨Z9$# uä!$tóÏGö/$# >puù=Ïm ÷rr& 8ì»tFtB Ót/y ¼ã&é#÷WÏiB 4 y7Ï9ºxx. Ü>ÎôØo ª!$# ¨,ysø9$# @ÏÜ»t7ø9$#ur 4 $¨Br'sù ßt/¨9$# Ü=ydõusù [ä!$xÿã_ ( $¨Br&ur $tB ßìxÿZt }¨$¨Z9$# ß]ä3ôJusù Îû ÇÚöF{$# 4 y7Ï9ºxx. Ü>ÎôØo ª!$# tA$sWøBF{$# ÇÊÐÈ
Artinya :
Allah telah menurunkan air (hujan)
dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus
itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam
api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih
arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang
bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya;
adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah
Allah membuat perumpamaan-perumpamaan
Sebab penamaannya.
Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan
kelompok (aliran) ini dengan nama Mu'tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama:
Berpendapat bahwa sebab penamaannya adalah karena berpisahnya Waashil bin Atho'
dan Amr bin Ubaid dari majlis dan halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini
didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui Al
Hasan Al Bashry, lalu berkata : wahai
imam agama, telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah yang mengkafirkan
pelaku dosa besar. dan dosa besar menurut mereka adalah yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dan
mereka adalah Al Wa'iidiyah khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku dosa
besar, dan dosa besar menurut mereka tidak mengganggu (merusak) iman, bahkan
amalan menurut mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak rusak
oleh kemaksiatan, sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran, dan
mereka adalah murjiah umat ini, maka bagaimana engkau memberikan hukum bagi
kami dalam hal itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan merenung sebentar tentang
hal itu, dan sebelum beliau menjawab, berkata Waashl bin Atho': saya tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa
besar itu mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi dia di dalam satu kedudukan
diantara dua kedudukan tersebut (manzlah baina manzilatain), tidak mu'min dan
tidak kafir. Kemudian dia berdiri dan memisahkan diri ke satu tiang dari
tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para murid Al Hasan, lalu
berkata Al Hasan : telah berpisah (i'tizal) dari kita Washil, dan Amr bin Ubaid
mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini beserta pengikutnya dinamakan
Mu'tazilah.
Berkata A Qodhi Abdul Jabaar Al Mu'tazily dalam
menafsirkan sebab penamaan mereka ini telah terjadi dialog antara Waashil bin
Atho' dan Amr bin Ubaid dalam permasalahan ini -permasalahan pelaku dosa
besar-lalu Amr bin Ubaid kembali ke mazhabnya dan meninggalkan halaqoh Al Hasan
Al Bashry dan memisahkan diri, lalu mereka menamainya Mu'tazily, dan ini adalah
asal penggelaran Ahlul Adil dengan Mu'tazilah.
Kedua:
Berpendapat bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan imam Qatadah kepada
Utsman Ath Thowil: siapa yang menghalangimu dari kami? apakah mereka Mu'tazilah
yang telah menghalangimu dari kami? Aku
jawab : ya.
Berkata Ibnu Abl
Izzy : dan mu'tazilah adalah Amr bin Ubaid dan Waashil bin Atho' Al Ghozaal
serta para pengikutnya, mereka dinamakan demikian karena mereka memisahkan diri
dari Al Jamaah setelah wafatnya Al Hasan Al Bashry di awal-awal abad kedua dan
mereka itu bermajlis sendiri dan terpisah, sehngga berkata Qotadah dan yang
lainnya: merekalah Mu'tazilah.[3]
C. Ajaran mu’tazillah
Lima
Ajaran mu’tazillah yang terkenal dengan istilah al-ushul al-khamsah, yaitu lima
prinsip ajaran yang dikembankan oleh mu’tazillah:
a. Tauhid
Bagi
kaum mu’tazillah tauhid mempunyai arti tuhan harus disucikan dari segala yang
dapat menngurangi arti ke maha esaan,oleh karena itu dialah yang qadim. Bila
ada yang qadim lebih darei satu maka telah terjadi ta’addul al-qudama
(terbilang zat yang bermulaan).untuk
memurnikan ke esaan tuhan (tanzih),mu’tazillah menolak konsep tuhan miliki
sifat-sifat, pengambaran fisik tuhan. Menurut mu’tazillah tuhan itu esa, tidak
yang menyamainya
b. Adil
Keadilan
berarti meletakan tanggung jawab atasa perbuatan-perbuatan, manusia bisa
mengerjakan perintah-pgerintahnya dan meninggalkan larangan-larangannya karena
kekuasaan yang di jadikan tuhan pada diri manusia. Lebih jauhnya tentang keadilan ini mereka
berpendapat sebagai berikut :
1.
Tuhan menguasai tentang kebaikan serta
tidak menghendaki keburukan.
2.
Manusia bvebas berbuat dan kebebasan ini
qudrat kekuasaan yang dijadikan tuhan pada diri manugsia.
3.
Makhluk di ciptakan atas dasar hikmah
kebijaksanaan
4. Tuhan
tidak melarang atas sesuatu, kecuali terhadap yang di larang dan tidak menyuruh
kecuali sesuai kemampuan
5. Kaum
mu’tazillah tidak mengaku bahwa manugsia itu memiliki qudrat dan iradat, tetapi
hal itu hanya pinjaman belaka.
6. Manusia
dapat di larang atau di cegah untuk melakukan qudrat dan iradat.
c. Janji
dan ancaman
Prinsip
dan ancaman yang di pegang oleh kaum mu’tazillah adalah untuk membuktikan
keadilan tuhan sehingga manusia dapat merasa balasan tuhan atas segala
perbuatannya. Di sini peranan janji dan ancaman bagi manusia agar manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya, ajarannya ialah :
1. Orang
mukmin yang berdosa besar lalu mati sebelum bertobat, ia tidak akan mendapat
ampunan tuhan.
2. Di
akhirat tidak ada syafaat, sebab berlawanan dengan al-wa’du wal wahid (janji
dan ancaman.
3. Tuhan
akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan
siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan.
d. Tempat
di antara dua tempat
Yang di maksud dengan
tempat di antara dua tempat yang di kemukaan oleh kaum mu’tazillah yuaitu
tempat bagi orang fasik. Orang-orang yang melakukan dosa besar tetapi tidak
musyrik mereka di namai fasik dan nantinya di tempatkan di suatu tempat yang
berada di antara surga dan neraka.
e. Menyeluruh
kebaikan dan melarang kejelekan
Dasar ini pada
kenyataannya hanya sekedar berhubungan dengan amal lahir. Tuhan menyuruh
kebaikan kepada manusia dan pelaksanaannya sesuai kemampuan.dia melarang
keburukan adalah mutlak harus harus di tinggalkan menurut mereka orang yang
menyalahi pendirian mereka diangap sesat dan harus di benarkan serta harus di
luruskan kewajiban ini harus di laksanakan oleh setiap muslim umtuk menegakan
agan serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat.[4]
D. Aliran mu’tazillah membagi
perbuatan manusia menjadi dua bagian yaitu :
1.
Perbuatan yang timbul dengan sendirinya
seperti gerakan refleks, perbuatan ini jelas bukan di adakan manusia atau
terjadi dengan sendirinya.
2.
Perbuatan-perbuatan bebas, di mana
manusia bisa melakukan pilihan antara mengerjakan atau tidak
mengerjakan.perrbuatan semacam ini lebih pantas di katakan di ciptakan (khalq)
manusia daripada di katakan di ciptakan tuhan, karena adanya alasan-alasan akal
fikiran dan syara’.
Alasan-alasan akal fikiran (dalil aqliyah)
:
Ø Kalau
perbuatan itu di ciptakan tuhan seluruhnya, sebagaimana yang di katakan aliran
jabariyah,maaka apa perlunya ada taklif (perintah/beban hukum) pada manusia.
Ø Pahala
dan siksa akan ada artinya, karena manusia dapat mengerjakan atau tidak dapat mengerjakan
yang baik atau yang buruk yang timbul dari kehendak sendiri.
Alasan-alasan syara’ (dalil
naqliyah):
E. Tokoh aliran mu’tazillah
1. Washil
bin atho’
Washil bin atho’di
lahirkan di madinah tahun 70-an. Ia pindah kebasrah untuk belajar. Di sana ia
berguru kepada seorang ulama masyur, yaitu hasan al-basri. Washil bin atho’
temasuk rmurid yang pandai,cerdas, tekun belajar. Ia berani berani mengeluarkan
pendapat yang berbeda sehingga ia bersama pengikutnya di namakan golongan di
namakan mu’tazillah. Pemikiran adalah diantara nya seorang muslim yang berbuat
doosa besar dihukumi tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasik dan
keberadan orang tersebut diantaranya mukmin dan kafir.
Washil bin atho’ untuk
mengguatkan pendapat bahwa iman itu adalah ungkapan bagi sifat-sifat oran yang
baik, yanyg apabila sifanya-sifat tersebut terkumpul pada diri seseorang maka ia di sebut mukmin.dengan demikian, kata
mukmin tersebut murupakan nama pujian. Orang yang melakukan dosa besar berarti
memiliki sifat-sifat yang tidak baik, maka ia tidak berhak untuik mendapakan
nama pujian itu.
2. Abu
huzail al-allaf
Abu huzail al-allaf di
;lahirkantahun 135h/751 m. ia berguru kepad usman at-tawil (murid washil bin
atho’)dan hidup dimana pada zaman dimana ilmu pengetahuan seperti filsafat dan
ilmu-ilmu lain dari yunani \telah berkembang pesat di diunia arab.ia wafat
tahun 235 h /849 m.abu huzail merupakan generasi kedua mu’tazillah yang
menintroduksi dan menyusun dasar-dasar paham mu’tazillah dan disebut ushul
khamsah.
3. Al-jubai
Ia mempunyai nama ali
muhamad binabdul wahabyang lahir tahun25 h/849 mdi jubai. Al-jubaiberguru
kepada asy-syahham, salah seorang murid abu huzail.ia mempunyai pola pikir yang
tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh mu’tazillah lainnya, yakni mereka
mengutamakan akal dalam memahami dan memecahkan perssoalan teologi.
4. As-zamakhsyari
Az-zamaksyari lahir
pada tahun 467 h dan belajar di beberapa negara, ia pernah bermukim di tanah
suci mekah dalam rangka belajar agama,
selain itu juga banyak mengunakan waktunya untuk menyusuk kitab tafsir
al-kasysyaf yang berorientasi paham mu’tazillah,meski demikian kitab tafsir
beliau tidakhanya di guna dari kalangan
mu’tazillah saja. Beliau juga banyak juga menyusun buku tentah balaghah
bahasah dan lainnya dan ia wafat tahun 538 H.[5]
No comments:
Post a Comment