A.
Awal Munculnya Aliran Asy’ariyah
Aliran Asy’ariyah merupakan sempalan dari Al
Mu’tazilah. Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-ha Ali bin ismail Al-Asy’ari
yang lahir di kota Basharam ( irak ) pada tahun 206 H / 873 M. Pada awalnya
Al-asy’ari ini berguru kepada tokah Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali
Al-jubai dalam pembelajaran itu ia membandingkan berbagai pemikiran yang telah
ada dan ilmu yang sedang berkembang. Ia merenungkan dan membandingkan ajaran
mu-tazillah dengan paham ahli fiqih dan hadist.[1]
Ketika
berusia 40 thn beliau merenungkan di rumahnya selama 15 hari untuk memikirkan
hal tersebut. Pada hari jum’at beliau
naik mimbar di masjid bashra secara remsmi dan menyatakan pendiriannya keluar
dari mu’ tazhillah dalam khutbahnya beliau mengatakan sebagai berikut: “ wahai
masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenal aku. Barang
siapa yang tidak mengenal ku, maka aku mengenal diri sendiri. Aku adalah Abu
Al- hasan ali bin ismail al-asy’ari. Dahulu aku berpendapat sbahwa Al’- Qur’an
adalah makhluk, bahwa sesungguhnnya allah tidak melihat mata, maka perbuatan
jelek aku sendiri yang membuatnnya. Aku bertaubat, bertaubat dan mencabut
paham-paham Mu’tazilah dan keluar dari padanya.[2]
Al-
Asy ‘ari menulis tidak kurang dari 90 kitab dalam berbagai bidang ilmu. Beliau menolak pendapat golongan
jahmiyah- contoh perdebatan antara imam al-Asy’ary dengan Abu Ali Al-jubai.
B.
Perkembangan Paham Asy’ariyah
Paham kaum Asy’ariyah
berlawanan dengan paham Mu’tazilah. Golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa allah
itu mempunyai sifat di antaranya, mata, wajah, tangan serta bersemayam di
singgasana ‘Arsy. Namun semua ini dikatakan la yukayyaf wa la yuhad (tanpa diketahui bagaimana cara dan
batasnya). [3]
Aliran Asy’ariah mengatakan juga bahwa
Allah dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala. Asy’ari menjelaskan
bahwa sesuatu yang dapat dilihat adalah sesuatu yang mempunyai wujud karena
Allah mempunyai wujud ia dapat dilihat. Untuk meyakinkan pendapatnya, beliau
mengutip ayat-ayat Al-Qur’an sebagai dalilnya. Di antaranya yaitu:
a. QS Ar-Rum ayat 25
Yang
artinya : “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradah- Nya. Kemudian apabila Dia memanggil
kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu ( juga ) kamu keluar ( dari kubur
). “ ( QS.Ar-Rum : 25 ).
b. QS. Yasin ayat 82
Yang
artinya : “ sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu
hanyalah berkata kepadanya: “ jadilah !” maka terjadilah ia.” (QS. Yasin :
82
c. QS. Al-A’raf ayat 54
Yang
artinya : “ Sesengguhnya tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia
menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (
diciptakan-Nya pula ) matahari, bulan, dan bintang- bintang (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha suci Allah,tuhan semesta alam. “ (QS. Al-A’raaf: 54)
d. QS. Al-Kahfi ayat 109
Yang artinya : “katakanlah,”sekiranya
lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat tuhanku, sungguh habislah
lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat tuhanku, meskipun kami
datangkan tambahan sebanyak itu (pula). “ (QS.al-kahfi:109)
e. QS. al-mukmin ayat 109
Yang
artinya ; “katakanlah hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada
satupun dari keadaanmereka yang tersembunyi bagi Allah.(lalu Allah berfirman):”
kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?” kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi
maha mengalahkan.” (QS.al-mukmin:16)
C.
Penyebab Keluarnya Al-Asy’ari dari Aliran
Mu’tazillah
Penyebab keluarnya al-Asy’ari dari
aliran Mu’tazillah antara lain:
a.
pengakuan al-Asy’ari telah bertemu Rasulullah sebanyak 3 kali, yakni pada malam
ke-10, ke-20,
dan ke30. Bulan ramadhan. Dalam mimpinya itu rasulullah memperingatkan agar
meninggalkan paham Mu’tazilah.[4]
b.
Al-Asy’ari merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran Mu’tazilah dalam
soal-soal perdebatan yang telah dikemukakan di depan.
c.
Karena kalau seandainya Al-Asy’ari tidak meninggalkan aliran Mu’tazilah maka
akan terjadi perpecahan dikalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka. [5]
D.
Pemikiran Al-Asy’ari
Al-Asy’ari
sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazilah tidak dapat menjauhkan diri
dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. Ia menentang dengan kerasnya yang
mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama atau membahas soal-soal yang tidak
pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan suatu kesalahan. Dalam hal ini ia
juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran, karena tidak
mengakui sifat-sifat tuhan.
Beberapa pendapat Al-Asy’ari
adalah sebagai berikut:
a. Sifat
Al-Asy’ari
mengakui sifat-sifat Tuhan ( wujud, Qidam, Baqa, Wahdania, Sama’,
Basyar, kalam, dan seterusnya ). Sesuai Dzat tuhan itu sendiri dan sama sekali
tidak menyerupai sifat-sifat makhaluk.
Tuhan dapat mendengar tetapi tidak seperti kita, dan seterusnya.
b. Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Al-Asy’ari mengatakan bahwa manusia tidak
berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk berbuat.
c. Melihat Tuhan Pada Hari Kiamat
Al-Asy’ari
mengatakan bahwa tuhan dapat dilihat, tetapi tidak menuntut cara tertentu dan
tidak pula arah tertentu Al-maturidi mengatakan juga bahwa manusia dapat
melihat tuhan.[6]
Firman
Allah dalam QS. Al-Qiyamah ayat 22 dan 23 yang artinya:
“
wajah-wajah (orang-orang mukmin ) pada hari itu berseri-seri. Kepada
tuhannyalah mereka melihat.” ( QS. al-Qiyamah:22-23)
d. Dosa besar
Al-Asy’ari
mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah
kepada tuhan, apakah akan diampuni dan langsung masuk syurga atau akan dijatuhi
siksa karena kefasikannya.[7]
Untuk mempelajari ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Asy’ari ini tentu
harus dipelajari dari pendapat-pendapatnya melalui karangan-karangannya sendiri
atau karangan pengikut-pengikutnya. Di sini kami kutip ajaran Asy’ari yang
relevan dengan ajaran ahlissunah waljama’ah yaitu:
1. tuhan bisa dilihat dengan mata kepala di
akhirat nanti.
2.
sifat-sifat tuhan yaitu sifat-sifat positif
yang ada atau ma’ani yaitu qudrat, iradat, hidup dan seterusnya.
3.
Al-Qur’an sebagai manifestasi kalamullah yang qadim sedang Al-Qur’an berupa
hurufnya serta suara adalah baru (hadis).
4. ciptaan tuhan karena tujuan.
5. tuhan menghendaki kebaikan bukan
keburukan.
6. tuhan tidak berkewajiban.
8. mengutus rasul-rasul.
9. memberi pahala kepada orang yang taat
dan menjatuhkan siksa atas orang yang durhaka.
10. tuhan boleh memberi beban di atas
kesanggupan manusia.
11. kebaikan dan keburukan tidak dapat
diketahui oleh akal semata.
12. perbuatan-perbuatan manusia tuhanlah
yang menjadikannya.
13. Ada syafaat pada hari kiamat.
14. keutusan Nabi Muhammad diperkuat
dengan mukjizat-mukjizat.
15. kebangkitan
di akhirat, pengumpulan manusia pertanyaan munkar dan nangkir dikubur dan
timbangan amal perbuatan manusia, jembatan (shirat) semuanya
adalah benar.
16. surga dan neraka adalah makhluk.
17. semua sahabat-sahabat nabi adil dan
baik.
18. sepuluh sahabat yang dijanjikan
masuk surga oleh nabi pasti terjadi.
19. ljma’ adalah sesuatu kebenaran yang
harus diterima.
20. Orang mukmin yang mengerjakan dosa
besar akan masuk surga setelah menjalani siksa.[8]
E.
Tokah-Tokoh Aliran Asy’ariyah
a. Al-Baqillani
Al-Baqillani
namanya Abu bakar muhammad bin tayib lahir di kota Basrah, tempat kelahiran
gurunnya, yaitu Al- Asy’ari ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak
jasanya dalam pembelaan agama.
Al
baqillani mengambil teori atom yang telah dibicarakan oleh aliran Mu’tazilah
sebagai dasar penetapan kekuasaan tuhan
yang tak terbatas. Jauhar adalah
suatu hal yang mungkin, artinya bisa wujud dan bisa tidak, seperti halnya aradh.
Menurutnya tiap-tiap aradh mempunyai lawan aradh pula. Di sinilah terjadi mukjizat itu karena
mukjizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan.
b. Al-juwaini
Namanya
Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di naisabur (Iran). setelah besar pergi
kekota Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. Kegiatan ilmiahnya
meliputi ushul figh dan teologi Islam. Empat hal yang berlaku pada kedua bidang
ilmu tersebut, yaitu:
1). Illat
: Seperti ada sifat “ilmu” (tahu) menjadi illat (sebab) seseorang
dikatakan “mengetahui “ (alim).
2). Syarat: Sifat “hidup” menjadi syarat
seseorang dikatakan mengetahui.
3). Hakikat: Hakikat orang yang
mengetahui ialah orang yang mempunyai sifat “ilmu”.
4). Akal pikiran: Seperti penciptaan
menunjukan adanya zat yang menciptakan.
C. Al-Ghazaly
Namanya Abu Hamid
Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, yang oleh umat Islam sesudahnya diberi gelar Hujjatul
Islam, yaitu intelektual muslim yang memberi argumentasi yang logis tentang
ajaran-ajaran Islam. Lahir tahun 450 H, di tus kota kecil di churassan Iran. Al-Ghazali adalah ahli pikir
islam yang memiliki puluhan karya
seperti teologi islam, hukum islam, dan lain-lain. Sikapnya yang dikemukakan
dalam bubunya yang berjudul Tafriqah bainal Islam waz zandagah dan Al-Iqtishad.
menurut Al-Ghazali perbedaan dalam
soal-soal kecil baik yang bertalian dengan masalah bidang akidah atau amalan.
Bahkan pengingkaran terhadap soal khilaffat yang sudah disepakati oleh kaum
muslimin tidak boleh dijadikan alasan untuk mengkafirkan orang.
d. Ibnu Faruk (wafat 406 H)
e. Ibnu Ishak al-Isfaraini ( wafat 418
H)
f. Abdul Kahir al-Bagdadi (wafat 429 H
)
g. Abdul Mudzafar al-Isfaraini (wafat
488 H)
h. Ibnu Tumart (wafat 524 H)
i. As-Syihristani (wafat 548 H)
j. Ar-razi (1149-1209)
k. Al-Iji (wafat 756 H /1359 M)[9]
Perbedaan
tokah-tokah aliran Asy’ariah dengan aliran-aliran teologi lainnya ialah
karena tokoh-tokoh ini tidak mendirikan aliran tersendiri di luar aliran
Asy’ari pada umumnya mereka mengambil jalan tengah dalam menetapkan sesuatu,
sehingga aliran ini sering dikatakan sebagai penghubung antara aliran
rasionalis berdasarkan akal dan naqli.
F.
Ciri-ciri penganut Aliran Asy’ariyah
Ciri-ciri orang yang menganut aliran
Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
a. mereka berpikir sesuai dengan
undang-undang alam dan mereka juga
mempelajari ajaran itu.
b. Iman adalah membenarkan dengan
hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk berbuat baik dan terbaik bagi
manusia, dan mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa .
c. kehadiran Tuhan dalam konsep
Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.[10]
[1] Salihun
A. Nasir. 1996 : Pengaantar Ilmu Kalam. Jakarta ; Raja Grapindo persada.
Hal 154
[2] Ibid,
Hal ; 155
[3] Ibid,
hal ; 173-175
[4]
Muhammad Abdul Wahab. 1948, Kitab At-Tauhid. Ditasbih M. Hamid Al-Fakri.
Mesir Ansharus Sunnah Al-Muhammadiyah. Hal ; 120
[5] Ahmad
Hanafi. 1983, teologi Islam. Jakarta : Bulan Bintang. Hal :129
[6] Abdul
Rozak, Ilmu Kalam . Hal ; 129
[7] Ibid,
hal ; 469
[8] Ahmad
hanafi, teologi islam. Hal 127-128
[9] Ahmad
hanafi, teologi islam. Hal ; 64-68
[10] Ibid,
hal 132-134
No comments:
Post a Comment