Wellcome to Jeymind18
Showing posts with label Fiqih. Show all posts
Showing posts with label Fiqih. Show all posts

Tuesday, 12 March 2013

HADHANAH (Hak Asuh Anak)


Asuh, mengasuh
حَضَنَ يَحْضَنُ, رَبَّى يُرَبِّى
Pengasuh
حَاضِنَة, مُرَبِّية
Pengertian hadhanah
Kata hadhanah adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy, atau mengasuh atau memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau lengan.
Secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi kemaslahatannya. Inilah yang dimaksu dengan perwalian (wilayah).
Hukum Hadhanah
Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya.
Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:
- Hak wanita yang mengasuh.
- Hak anak yang diasuh.
- hak ayah atau orang yang menempati posisinya.
Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas untuk menasuh anak.
kedua, si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian. sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudharat yang dimungkinkan akan menimpa sianak karena adanya mahram lain selain ibunya.
ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alsan syar’i yang memperbolehkannya.
keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak.
Urutan Orang yang Berhak Mengasuh Anak.
Mengingat bahwa wanita lebih memahami dan lebih mampu mendidik, disamping lebih sabar, lebih lembut, lebih leluasa dan lebih sering berada bersama anak, maka ia lebih berhak mendidik dan mengasuh anak dibandingkan laki-laki. Hal ini berlangsung hanya pada usia-usia tertentu, namun pada fase-fase berikutnya laki-laki yang lebih mampu mendidik dan mengasuh anak dibandingkan wanita.
Ibu adalah wanita yang paling berhak mengasuh anak
Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka -sesuai ijma ulama- ibu kandung sianak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah r: “Wahai RAsulullah, anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasulullah r bersabda kepada wanita ini “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“. (hasan HR Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi)
Urutan orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu kandung
Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya dalil qath’i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja ke-empat imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).
  1. Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang palin berhak mengasuh anak adalah
    - Ibu kandungnya sendiri
    - Nenek dari pihak ibu
    - nenek dari pihak ayah
    - saudara perempuan (kakak perempuan)
    - bibi dari pihak ibu
    - anak perempuan saudara perempuan
    - anak perempuan saudara laki-laki
    - bibi dari pihak ayah
  2. Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari
    - Ibu kandung
    - nenek dari pihak ibu
    - bibi dari pihak ibu
    - nenek dari pihak ayah
    - saudara perempuan
    - bibi dari pihak ayah
    - anak perempuan dari saudara laki-laki
    - penerima wasiat
    - dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama
  3. Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari
    - Ibu kandung
    - nenek dari pihak ibu
    - nenek dari pihak ayah
    - saudara perempuan
    - bibi dari pihak ibu
    - anak perempuan dari saudara laki-laki
    - anak perempuan dari saudara perempuan
    - bibi dari pihak ayah
    - dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak yang mendapatkan bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. Pendapat Madzhab Syafi’i sama dengan pendapat madzhab Hanafi.
  4. Kalangan Madzhab Hanbali
    - ibu kandung
    - nenek dari pihak ibu
    - kakek dan ibu kakek
    - bibi dari kedua orang tua
    - saudara perempuan se ibu
    - saudara perempuan seayah
    - bibi dari ibu kedua orangtua
    - bibinya ibu
    - bibinya ayah
    - bibinya ibu dari jalur ibu
    - bibinya ayah dari jalur ibu
    - bibinya ayah dari pihak ayah
    - anak perempuan dari saudara laki-laki
    - anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
    - kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.



Ilmu Waris / Ilmu Fara'id

1)      Pengertian dan hukum ilmu mewarisi
Kata Mawaris merupakan bentuk jamak dari kata Mirats, artinya Harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia dan diwarisi oleh keluarganya yang masih hidup. Para ulama fiqih menddefinisikan ilmu mawaris adalah ilmu untuk mengetahui orang-orang yang mendapatkan harta warisa, yang tidak dan bagian yang diterima serta tatacara pembagiannya.
Ilmu mawaris ini disebut juga dengan ilmu Faraid, (Faradah) artinya bagian tertentu bagi ahli waris.ilmu Faraid memiliki pengertian yaitu ilmu yang mempelajari tentang masalh-maslah pembagian harta peninggalan si mayit dengan ilmu hitung bagi setiap orang yang berhak menerimanya.

Ada tiga unsur dalam ilmu mawaris ini yaitu:
a)      Al-Muwaris : orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan
b)      Al-Waris : ahli waris atau orang yang berhak menerima harta peninggalan si mayit
c)      Haqqun Maurus : harta peninggalan atau harta warisan

Hukum Mempelajari ilmu Mawaris adalah Fardu Kifayah. Namun, dapat berubah menjadi fardu ‘ain bagi orang yang dianggap mampu mempelajarinya. Meskipun hukum mempelajarinya adalah fardu kifayah namun penggunaanya di dalam pembagian harta warisan fardu ‘ain hukumnya.
Sumber hukum ilmu Mawaris ada tiga, yaitu :
a)      Al-Quran : Surat An-Nisa ayat 7, 11, 12, 127 dan 176
b)      Al-Hadits :
عليه متفق.قَلَ النّبِيُّ صلم اَلْحِقُوا اَلْفَرَائِضَ بِاَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لاَِوْلَ رَجُلٍ ذَكَرٍ
Artinya : Rasululllah saw bersabda : “ Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki lebih utama (dekat kerabatnya). (Muttafaqun alaihi)
c)      Ijtihad : jika ada masalah waris ada yang tidak jelas maka ijtihad para ulama dapat dijadikan sumber hukum, baik melalui ijma’ atau qiyas.
2)      Tujuan dan kedudukan ilmu mewarisi

a)      Tujuan Ilmu Mawaris
1)      Untuk mengetahui tat cara pelaksanaan pembagian harta peninggalan mayat sesuai dengan syariat Islam
2)      Untuk mengetahui orang-orang yang berhak menerima harta warisan dan bagiannya masing-masing
3)      Agar dapat membagi harta warisan dengan adil sesuai dengan ketentuan sayriat Islam
4)      Agar dapat menjalankan perintah Allah swt dan Rasulnya.
b)     Kedudukan Ilmu Mawaris
Kedudukan Ilmu Mawaris sangat penting sebab ilmu ini bagian yang tidak dapt dipisahkan dari ilmu-ilmu syariah lainnya. Bahkan dianggap sebagai setengah dari ilmu syariah. Sebab jika ilmu syariah lainnya berkaitan dengan manusia sebelum meninggal maka ilmu mawris berkaitan dengan manusia setelah wafatnya.
3)      Sebab-sebab waris mewarisi
Sebab-sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan harta warisan ada empat yaitu:
a)      Pernikahan : perbikahan yang sah dapat menjadikan kedua belah pihak mendapat saling mewarisi, jika salah satunya meninggal dunia
b)      Nasab (Keturunan) : hubungan darah yang mengikat antara mayyit dan ahli waris seperti anak kandung. Dalam hal ini ahli waris dengan jalan Nasab dibagi menjadi tiga :
1.      Zawil Furud : Para ahli waris yang menerima warisan karena adanya hubungan kekerabatan dengan bagian yang sudah ditentukan
2.      Al-Asabah : ahli waris yang tidak memiliki bagian tertentu, namun mereka dapat mengambil semua harta jika ahli waris yang pertama tidak ada atau sudah dapat semua.
3.      Zawil Arham : orang yang tidak memiliki bagian tertentu tetapi mereka masih ada hubungan kekerabatan walaupun agak jauh dan mereka mendapat harta warisan jika kerabat-kerabat yang dekat tidak ada.
c)      Wala’ (perbudakan) : orang-orang yang mempunyai kemurahan hati memerdekan hamba sahanya. Jadi setelah hamba tersebut merdeka dan meninggal dunia maka seorang tuan tersebut memiliki hak waris terhadap harta warisnnya.
d)     Agama : orang yang seagama (Islam)dapat mewarisi harta sudaranya  jika si mayyit tidak memiliki ahli waris.
4)      Halangan waris mewarisi
a)      Pembunuhan : jika seorang saudara membunuh saudara yang lainya maka hak atas harta warisaanya hilang.
b)      Perbedaan agama : antar orang Islam dan non Islam, atau orang yang murtad maka hak atas harta warisan menjadi hilang.
c)      Perbudakan : seorang hamba sahaya tidakj berhak menerima harta warisan dari keluarganya atau kerabatnya.

Wednesday, 6 March 2013

Batasan Umur pernikahan menurut undang-undang

-->
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II pasal 2 disebutkan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqqan ghaliidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena pernikahan itu ibadah maka berkaitan erat dengan segala syarat dan rukun yang merupakan salah satu kewajiban yang harus terpenuhi sebelum pelaksanaan akad nikah dan akan berjalan tertib dalam pelaksanaannya.
Pernikahan merupakan akad yang suci yang menghalalkan pergaulan suami isteri dengan nama Allah. Saking pentingnya pernikahan Rasulullah SAW mengingatkan umatnya dalam khutbah haji wada di Namira sebagaimana sabdanya “Wahai manusia, berlaku baiklah terhadap isteri kalian mereka itu merupakan teman-teman yang akan membantu kalian, mereka tidak memiliki sesuatu untuk diri mereka, kalian telah mengambil mereka sebagai amanah Allah dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian dengan nama Allah”. Dalam sebuah hadis lain Rasululah SAW bersabda  “Nikah itu sunnah kami, siapa yang membenci sunnahku maka bukan dari golonganku”. Oleh karena itu akad nikah merupakan suatu akad yang suci yang akan menghalakan kehormatan dengan nama Allah, dengan tujuan ibadah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah dan rohmah.
Salah satu persyaratan yang sering menjadi perbincangan masyarakat akhir-akhir ini adalah batas usia pernikahan. Hal ini sering muncul seiring dengan bermunculannya kasus-kasus yang menjadi sorotan media di berbagai daerah, seperti pernikahan yang dilakukan oleh Syeh Puji terhadap anak dibawah umur beberapa waktu yang lalu. Permasalahannya adalah berapa batas usia pernikahan dalam undang-undang di Indonesia? Untuk menjawabnya tentu kita perlu merujuk pada ketentuan perundangan yang berkaitan dengan masalah tersebut.
            Di dalam Undang-undang No 1 tahun 1974  tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur  16 (enambelas) tahun. Selanjutnya dalam  Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8 “Apabila seorang calon sumi belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan”. Pasal-pasal tersebut diatas sangat jelas sekali hampir tak ada alternatif penafsiran, bahwa usia yang diperbolehkan menikah di Indonesia untuk laki-laki 19 (sembilan belas)  tahun dan untuk wanita 16 (enambelas) tahun. Namun itu saja belum cukup, dalam tataran implementasinya  masih ada syarat yang harus ditempuh oleh calon pengantin (catin), yakni jika calon suami dan calon isteri belum genap berusia 21 (duapuluh satu) tahun maka harus ada ijin dari orang tua atau wali nikah, hal  itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan nikah Bab IV pasal 7 “Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua”. Ijin ini sipatnya wajib, karena usia itu dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua/wali. Dalam format model N5 orang tua /wali harus membubuhkan tanda tangan dan nama jelas, sehingga ijin dijadikan dasar oleh PPN/ penghulu bahwa kedua mempelai sudah mendapatkan ijin/restu orang tua mereka. Lain halnya jika kedua calon pengantin sudah lebih dari 21 (dua puluhsatu) tahun, maka para catin dapat melaksanakan pernikahan tanpa ada ijin dari orang tua/wali. Namun untuk calon pengantin wanita ini akan jadi masalah karena orang tuanya merupakan wali nasab sekaligus orang yang akan menikahkannya. Oleh karena itu ijin dan doa restu orang tua tentu suatu hal yang sangat penting karena akan berkaitan dengan salah satu rukun nikah yakni adanya wali nikah.
Dalam khazanah ilmu fiqh ada sebagian para ulama tidak memberikan batasan usia pernikahan, artinya berapapun usia catin tidak menghalangi sahnya pernikahan, bahkan usia belum baligh sekalipun, hal inilah yang menjadi dasar jaman dahulu ada yang disebut istilah kawin gantung. Namun mayoritas ulama di dunia Islam sepakat mencantumkan pembatasan usia nikah sebagai dasar yang dipakai di negara masing-masing. Di bawah ini adalah batas usia pernikahan di sebagian negara-negara muslim yang merupakan hasil studi komperatif Tahir Mahmood dalam buku Personal law in Islamic Cauntries ( History, Text and Comparetive Analysis ) :
Negara
Pria
/tahun
Wanita
/tahun
Aljazair
21
18
Bangladesh
21
18
Indonesia
21
21
Tunisia
19
17
Mesir
18
16
Irak
18
18
Libanon
18
17
Libya
18
16
Malaysia
18
16
Maroko
18
16
Pakistan
18
16
Somalia
18
18
Yaman Selatan
18
16
Suriah
18
17
Turki
17
15
Jordania
16
15
Yaman Utara
15
15

Data diatas menunjukan bahwa dalam menentukan batas usia pernikahan, para ulama di negara muslim  sepakat memberikan batasan  pernikahan setelah usia baligh, walaupun dalam rentang yang tidak sama dan berpariasi, karena di dalam ilmu fiqh baligh jika dikaitkan dengan ukuran usia berkisar laki-laki antara 15 ( lima belas ) tahun dan wanita antara 9 (sembilan) tahun.
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana jika laki-laki masih dibawah 19 tahun dan wanita masih dibawah 16 tahun akan melaksanakan pernikahan?. Hal ini bisa didorong karena berbagai hal antara lain: khawatir jina’, sudah terlalu akrab, sudah tak bisa dipisahkan, sudah   cukup, cakap dan mampu dari segi materi serta fisik atau bahkan sudah kecelakaan.
Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 ternyata tidak kaku dan cukup memberikan ruang toleransi, hal ini bisa terlihat dari  pasal 7 ayat (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun pihak wanita. Bagi umat Islam tentu orang tua/wali  para catin harus mengajukan ijin dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah kabupaten didaerah catin tinggal. Setelah ijin keluar baru akad nikah bisa dilaksanakan. Ijin tersebut akan dijadikan dasar oleh PPN/Penghulu serta akan mencantumkannya dalam lembaran NB daftar pemeriksaan nikah poin II Calon Suami No 16 baris 33,34 dan poin III Calon Isteri No.16 baris 71,72. Dengan demikian pernikahan yang masih dibawah umur atas ijin pengadilan  menjadi sah dan berkekuatan hukum.
            Selanjutnya dalam Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) anak adalah seseorang yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ayat (2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimninasi.
Jika kita lihat sebagian pasal pada undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak diatas, tentu ada hal yang perlu di berikan elaborasi, terutama menyangkut batasan anak dan batasan nikah, karena kedua ukuran tersebut masih bisa menimbulkan perdebatan yang panjang. Disatu sisi ia masih katagori anak-anak tapi disi lain  dikatakan sudah cukup untuk menikah. Hal ini menjadi penting untuk ditindak lanjuti terutama oleh para pemangku kepentingan mungkin para akademisi, ulama, legislatip atau siapapun di Republik ini. Karena orang tua/wali membutuhkan kejelasan dan perlindungan hukum dalam membahagiakan anaknya, serta PPN/Penghulu membutuhkan  ketenangan dalam melaksanakan tugas sebagai pelayanan prima kepada masyarakat, apalagi dalam Undang-undang Perlindungan Anak Bab XII tercantum ketentuan pidana. Tentu hal ini perlu pengkajian yang konprehensip, agar  tidak menjadi media bagi pihak lain yang berkepentingan untuk menyudutkan dan atau menyalahkan pihak lainnya, yang pada gilirannya aturan itu bisa berjalan seiring, sejalan, saling mengayomi, saling melengkapi dan tidak saling bersinggungan.

Hak dan kewajiban suami istri menurut imam mazhab

-->
Kewajiban suami atau hak istri
a)      Meminpin, memelihara dan membimbing keluargaserta menjaga dan bertanggung jawab atas kesejahteraann dan keselamata keluarganya.
b)      Member nafkah lahir dan bathin sesuai dengan kemampuannya
c)      Membantu tugas-tugas istri
d)     Member kebebasan berfikir dan berpendapat serta bertindak sesuai ajaran Islam.
e)      Memberikan rasa aman terhadap keluarga.
Kewajiban istri atau hak suami
a)      Melayani suami lahir dan batin dengan penuh tanggung jawab
b)      Mengatur dan menata suasan rumah tangga dengan baik
c)      Merawat dan memelihara anak-anak serta menididknya
d)     Menghormati suami dan menghargai pemberian suami walaupun sedikit
e)      Bersikap lemah lembut terhadap suami.
Kewajiban suami atas istrinya adalah memberinya nafkah lahir dan batin. Sedangkan istri kepada suami menurut pendapat para fuqaha hanya sebatas memberikan pelayanan secara seksual. Sedangkan memasak, mencuci pakaian, menata mengatur dan membersihkan rumah, pada dasarnya adalah kewajiban suami, bukan kewajiban seorang istri.
Dalam syariah Islam yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah SWT :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena  Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)
Pendapat 5 Mazhab Fiqih
Namun apa yang saya sampaikan itu tidak lain merupakan kesimpulan dari para ulama besar, levelnya sampai mujtahid mutlak. Dan kalau kita telusuri dalam kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik.
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.
1. Mazhab al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.
2. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.
3. Mazhab As-Syafi'i
Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pendapat Yang Berbeda
Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.
Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga.
Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus 'menggaji' para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga.
Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya.
Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan istri juga harus dapat 'jatah gaji' yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah tangga.

Featured post

Hak dan kewajiban suami istri menurut imam mazhab

--> Kewajiban suami atau hak istri a)       Meminpin, memelihara dan membimbing keluargaserta menjaga dan bertanggung jawab atas ...

Popular Posts