- PRNGERTIAN JABARIAH
Sebelum kita memahami dan mengenal
lebih dalam mengenai sejarah kemunculan aliran Jabariyah ini, perlu saya
paparkan pengertian dari kata Jabariyah itu sendiri, baik secara etimologi
maupun sacara terminologi. Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara dalam bahasa
Arab yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu.
Pengertian arti kata secara etimologi diatas telah dipahami bahwa kata jabara merupakan suatu paksaan di dalam melakukan setiap sesuatu. Atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Kata Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa’ nisbah) mengandung pengertian bahwa suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan kembali dalam berbagai referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa paham Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Allah
Pengertian arti kata secara etimologi diatas telah dipahami bahwa kata jabara merupakan suatu paksaan di dalam melakukan setiap sesuatu. Atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Kata Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa’ nisbah) mengandung pengertian bahwa suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan kembali dalam berbagai referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa paham Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Allah
Dapat
Kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang
memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur
keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan
qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang
melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan
makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan
digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam
soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin
menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar
untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri.
- SEJARAH
MUNCULNYA ALIRAN JABARIYAH
Mengenai asal
usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa
faktor. Antara lain
1. Faktor
Politik
Pendapat
Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa
keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah
dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan
Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia
bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata
bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah
berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata"
dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia ) pada saat munculnya
golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh
Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang
mula-mula mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun,
semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan
manusia.
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat).
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat).
2 faktor
geografi
Kata
jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid,
dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu[1].
Dengan kata lain manusia mengerjakanperbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam
bahasa inggris, jabariyah disebut fatalism atau fresdistination
yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula
oleh qada dan qadar Tuhan[2].
Paham
al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan
oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat
sebagai tokoh yang mendirikan aliran jambiyah dalam kalangan murji’ah. Ia
adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan
melawan kekuasaan Bani Umaiyah[3].
Namun dalam perkembangannya, paham al-Jabar juga dikembangkan oleh tokoh
lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Tokoh
utama Jabariyah adalah jaham ibn Sofwan karena mazhab ini sering pula disebut
mazhab Jahamiyah.Jaham ibn Sofwan berasal dari Persia, setelah ia masuk Islam
kemudian menjadi pegawai al-Haris ibn Suraij (kelompok bendera hitam yang
memberontak pada bani Umaiyah), Jaham akhirnya tertangkap dan dihukum mati.
Riwayat hidup Jaham ibn Sofwan tidak diketahui orang secara jelas[4].
Pokok
paham jabariyah yang penting anatara lain ialah manusia tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat (qudrat) dan tidak mempunyai kemampuan pula untuk
memilih (iradat) pada hakikatnya segala gerak atau pekerjaan manusia itu akan
dibalas dengan surga atau neraka.
Lebih
lanjut, harun nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat
tidak melihat jalan untuk merubah keadaan sekelilingmereka sesuai dengan
keinginannya sendiri.mereka merasa lemah menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.
Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam.
Benih-benih
itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
a. Suatu
ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sekarang sedang bertengkar masalah takdir
Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkat persoalan tersebut agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir[5].
b. Khalifah
Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika
diintrogasi pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri.”
Mendengar ucapan itu Umar marah sekali dan menganggap orang tersebut telah
berdusta pada Tuhan[6].
c. Khalifah
Ali bin Abi Thalib seusai perang Shiffin ditanya seorang tua tentang qadar
(ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal
perbuatan manusia. Sekiranya qada dan qadar itu merupakan paksaan, batallah
pahala dan siksa, gugur pula makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada
celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
d. Pada
pemerintahan Daulat bani Umaiyah, pandangan tentang al-Jabar semakin mencuat
kepermukaan. Abdullah bin Abbas, melalui surannya, memberikan reaksi keras
kepada penduduk Syria
yang diduga paham Jabariyah[7].
Berkaitan dengan kemunculan Jabariyah
ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran
asing yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama kristen bermazhab
Yacobit[8].
Namun, tanpa pengaruh asing itu paham al-Jabar akan muncul juga dikalangan umat
Islam.
Di
dalam Al-qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham ini:
Artinya:
kalau sekirannya kami turunkan malaikat kepada mereka dan orang-orang yang
telah mati berbiacara dengan mereka dan kami kumpulkan pula segala sesuatu
kehadapan mereka, niscaya mereka tidak juga beriman, kecuali jika Allah
menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Al-[9]An’am:
111)
Artinya: Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu. ( QS. Ash-Shaffat: 96)
Ayat-ayat
tersebut terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah
yang menyebabkan pola pikir Jabariyah masih ada dikalangan umat Islam hingga kini
walaupun anjurannya telah tiada. Dalam perjalanan sejarahnya, Islam perjalanan
terkontaminasi pemikiran dari luar Islam tentang memahami masalah taqdir. Sehingga muncul paham yang
saling bertolak belakang yaitu paham Jabariyah dan paham Qadariyah. Paham
Jabariyah muncul karena terpengaruh karena pemikiran dari aliran Determinismus
dan Theologis Islam. Paham ini mula-mula timbul di Khurasan (persi) dengan
pimpinannya yang pertama bernama Jaham bin Shafwan dan karena itu mazhabnya
disebut mazhab Jahamiah. Mazhab ini banyak Yakubiah dalam agama Kristen.
Ternyata
Jaham bin Shafwan mendirikan aliran Jabariyah ini belajar dari seorang Yahudi
yang masuk Islam bernama Thalut A’sam. Paham Jabariyah berpendirian bahwa Allah
saja yang menentukan, menetapkan dan memutuskan segala nasib hingga amal
perbuatan manusia. Hanya qudrat dan Iradat Allah yang berlaku. Manusia
diibaratkan sebagai kapas yang berterbangan mengikuti tiupan angin. Manusia
tidak memiliki kemampuan untuk memilih jalan hidupnya. Paham Jabariyah
melegitimasi pendiriannya dengan berpegang kepada ayat al-qur’an surat Ash-Shaffat ayat 96
yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu.”
Setelah
itu muncullah paham lain yang bertolak belakang dengan paham Jabariyah. Paham
ini menyebut dirinya dengan nama Indeterminismus Theologis Islam yang
dipelopori oleh Ma’bad al-Juhani al-Bisri dan Al-Ja’du bin Dirham, sekitar
tahun 70 H / 689 M. Jika paham Jabariyah menyatakan bahwa semua perbuatan
manusia berpangkal pada Qudrat dan Iradat Allah, maka para penguasa dari
golongan ini menyandarkan semua perbuatan dan kezaliman yang dilakukan kepada
kehendak Allah.
- Para Pemuka Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
Menurut
Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: ekstrims dan
moderat. Doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan
manusia bukan merupakan perbuatanyang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi
perbuatan yang dipaksakan atas dirinya[10].
Di
antara pemuka Jabariyah ekstrim berikut ini:
a.Jaham
bin Shofwan
Nama
lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan,
bertempat tinggal di Khufah. Ia seorang da’I yang fasih dan lincah (orator). Ia
menjabat sebagai sekretaris Haris bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah
Bani Umaiyah di Khurasan. Ia ditawan dikemudian hari dibunuh secara politis tanpa
ada kaitannya dengan agama.
Sebagai
seorang penganut dan penyebar paham Jabariyah, banyak yang dilakukan Jaham yang
tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk.
Pendapat Jaham yang berkaitan
dengan persoalan teologi sebagai berikut:
1.Manusia
tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan mempunyai pilihan.
2.Surga
dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3.Iman adalah ma’rifat atau
membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan konsep iman yang
diajukan kaum Murjiah.
4.Kalam Tuhan adalah makhluk.
Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti
berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dilihat dengan indera
mata di akhirat kelak.
Dengan demikian
dalam beberapa hal, pendapat Jaham hamper sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah dan
Asy-ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebabkan dengan
Al-Mu’tazilah, Al-Murji’ah dan Al-Asy’ari.
a.Ja’d bin
Dirham
Al-Ja’d adalah seorang maulana Bani
Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan Kristen yang
senang membicaraka teologi. Semula ia
dipercaya untuk mengajar dilingkungan pemerintah Bani Umaiyah, semula ia
dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umaiyah, tetapi setelah
tampak pikiran-pikirannya yang controversial, Bani Umaiyah menolaknya. Kemudian
Al-Ja’d lari kekufah dan disana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer
pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama
dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:
1. Al-qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.
Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan
kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk
seperti berbicara, melihat dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat
mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan
jahat maupun perbuatan baik. Tetapi, manusia mempunyai bagian di dalamnya.
Tenaga yang diciptakan di dalam dirinya manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatanya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (Acquisitin). Menurut paham
kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang
dikendalikan oleh dalang tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia
memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Yang
termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah berikut ini:
a.
An-Najjar
Nama
lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). para pengikutnya
disebut An-Najariyah atau Al-Hasainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
1.Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam
teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi
seperti wayang yang gerakkannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang
diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
2.Tuhan
tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan
dapat saja memindahakan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia
melihat Tuhan.
a.Adh-Dhirar
Nama
lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama
dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang
digerakkan dalang. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat
ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia, tidak
hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi oleh manusia itu sendiri.
Mengenai
ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat
melalui indera ke enam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterimah
setelah nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat di jadikan sumber dalam
menetapkan hukum.
D. CIRI-CIRI AJARAN JABARIYAH
Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah
adalah :
1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah
E. PENOLAKAN TERHADAP PAHAM JABARIYAH
1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah
E. PENOLAKAN TERHADAP PAHAM JABARIYAH
Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang
melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama
sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan
melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan
terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan
mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan,
bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak
berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu
amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab
atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi. Akidah yang rusak
semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk
mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya
serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua
itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan
rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia
akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal
itu tidak mengubah takdir.
[1] Anwar
Rosihan, Ilmu Kalam (Bandung :
Pustaka Setia, 2003), hlm. 63
[2] Harun
Nasution, Teologi Islam (UI Press, Jakarta: 1989), hlm.31
[3] Ibid,
hlm. 33
[4] Yusran
Asmuni,Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.75
[5]
Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam (Jakarta: Beuneubi Cipta,
1987), hlm. 27-29
[6]
Anwar Rosihan, Ilmu Kalam, hlm. 65
[7]
Taib Thahir Abd, Mu’in, Ilmu Kalam, hlm. 102
[8][8] Sahiluddin
A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, hlm. 33
[9]
Sahiluddin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam,
(Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 43
[10]
Anwar Rosihan, Ilmu Kalam, hlm. 67
No comments:
Post a Comment