Permasalahan iman merupakan
permasalahan terpenting seorang muslim, sebab iman menentukan nasib seorang
didunia dan akherat. Bahkan kebaikan dunia dan akherat bersandar kepada iman
yang benar. Dengan iman seseorang akan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia
dan akherat serta keselamatan dari segala keburukan dan adzab Allah. Dengan
iman seseorang akan mendapatkan pahala besar yang menjadi sebab masuk ke dalam
surga dan selamat dari neraka. Lebih dari itu semua, mendapatkan keridhoan
Allah Yang Maha kuasa sehingga Dia tidak akan murka kepadanya dan dapat
merasakan kelezatan melihat wajah Allah diakherat nanti. Dengan demikian
permasalahan ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari kita semua.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan,
“Hasil usaha jiwa dan qolbu (hati) yang terbaik dan penyebab seorang hamba
mendapatkan ketinggian di dunia dan akherat adalah ilmu dan iman. Oleh karena
itu Allah Ta’ala menggabung keduanya dalam firmanNya,
وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
وَالْإِيمَانَ لَقَدْ لَبِثْتُمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْبَعْثِ
“Dan berkata orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): “Sesungguhnya
kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari
berbangkit.” (QS ar-Ruum: 56)
Dan firman Allah Ta’aa,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا
مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.” (QS al-Mujaadilah: 11).
Mereka inilah inti dan pilihan dari
yang ada dan mereka adalah orang yang berhak mendapatkan martabat tinggi. Namun
kebanyakan manusia keliru dalam (memahami) hakekat ilmu dan iman ini, sehingga
setiap kelompok menganggap ilmu dan iman yang dimilikinyalah satu-satunya yang
dapat mengantarkannya kepada kebahagiaan, padahal tidak demikian. Kebanyakan
mereka tidak memiliki iman yang menyelamatkan dan ilmu yang mengangkat (kepada
ketinggian derajat), bahkan mereka telah menutup untuk diri mereka sendiri
jalan ilmu dan iman yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menjadi dakwah beliau kepada umat. Sedangkan yang berada
di atas iman dan ilmu (yang benar) adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya setelah beliau serta orang-orang yang mengikuti
mereka di atas manhaj
dan petunjuk mereka….”.[1]
Demikian bila kita melihat kepada
pemahaman kaum muslimin saja tentang iman didapatkan banyak kekeliruan dan
penyimpangan. Sebagai contoh banyak dikalangan kaum muslimin ketika berbuat
dosa masih mengatakan, “Yang penting kan hatinya”. Ini semua tentunya
membutuhkan pelurusan dan pencerahan bagaimana sesungguhnya konsep iman yang
benar tersebut.
Makna Iman
Dalam bahasa Arab, ada yang
mengartikan kata iman dengan “tashdîq” (membenarkan); thuma’nînah
(ketentraman); dan iqrâr (pengakuan). Makna ketiga inilah yang paling
tepat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Telah
diketahui bahwa iman adalah iqrâr (pengakuan), tidak semata-mata tashdîq
(membenarkan). Dan iqrâr (pengakuan) itu mencakup perkataan hati, yaitu tashdîq
(membenarkan), dan perbuatan hati, yaitu inqiyâd (ketundukan hati)”.[2]
Dengan demikian, iman adalah iqrâr
(pengakuan) hati yang mencakup:
- Keyakinan hati, yaitu membenarkan terhadap berita.
- Perkataan hati, yaitu ketundukan terhadap perintah.
Yaitu: keyakinan yang disertai
dengan kecintaan dan ketundukan terhadap semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Ta’ala .
Adapun secara syar’i (agama),
iman yang sempurna mencakup qaul (perkataan) dan amal
(perbuatan). Syaikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dan di
antara prinsip Ahlus sunnah wal jamâ’ah, ad-dîn (agama/amalan) dan al-imân
adalah perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati, lisan
dan anggota badan”.[3]
Dalil Bagian-Bagian Iman
Dari perkataan Syaikhul Islam di
atas, nampak bahwa iman menurut Ahlus sunnah wal jamâ’ah mencakup lima
perkara, yaitu [1] perkataan hati, [2] perkataan lisan, [3] perbuatan
hati, [4] perbuatan lisan dan [5] perbuatan anggota badan.
Banyak dalil yang menunjukkan
masuknya lima perkara di atas dalam kategori iman, di antaranya adalah sebagai
berikut:
Pertama: Perkataan hati, yaitu pembenaran dan keyakinan hati. Allah
Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ
آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu adalah orang-orang yang hanya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS al-Hujurât:
15)
Kedua: Perkataan lisan, yaitu mengucapkan syahadat Lâ ilâha
illallâh dan syahadat Muhammad Rasulullâh dengan lisan dan
mengakui kandungan syahadatain tersebut. Di antara dalil hal ini adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ
حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ
اللَّهِ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا
ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ
وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintah (oleh Allah)
untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada yang berhak
diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan sampai
mereka menegakkan shalat, serta membayar zakat. Jika mereka telah melakukan itu, maka
mereka telah mencegah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak
Islam, dan perhitungan mereka pada tanggungan Allah.”[4]
Pada hadits
lain disebutkan dengan lafazh,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ
حَتَّى يَقُولُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ …
“Aku diperintah (oleh Allah)
untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan “Lâ ilâha illallâh”….[5]
Ketiga: Perbuatan hati, yaitu gerakan dan kehendak hati, seperti
ikhlas, tawakal, mencintai Allah Ta’ala , mencintai apa yang dicintai
oleh Allah Ta’ala , rajâ’ (berharap rahmat/ampunan Allah Ta’ala),
takut kepada siksa Allah Ta’ala , ketundukan hati kepada Allah Ta’ala,
dan lain-lain yang mengikutinya. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ
إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ
زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, hati mereka
gemetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah
iman mereka (karenanya) dan kepada Rabbnya mereka bertawakkal” (QS
al-Anfâl: 2). Dan dalil-dalil lainnya yang menunjukkan amalan-amalan hati
termasuk iman.
Keempat: Perbuatan lisan/lidah, yaitu amalan yang tidak dilakukan
kecuali dengan lidah. Seperti membaca al-Qur’ân, dzikir
kepada Allah Ta’ala, doa, istighfâr, dan lainnya. Allah Ta’ala
berfirman,
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ
كِتَابِ رَبِّكَ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ
مُلْتَحَدًا
“Dan bacakanlah apa yang
diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (al-Qur’ân). Tidak ada (seorang pun)
yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya.” (QS al-Kahfi: 27). Dan dalil-dalil
lainnya yang menunjukkan amalan-amalan lisan termasuk iman.
Kelima: Perbuatan anggota badan, yaitu amalan yang tidak dilakukan
kecuali dengan anggota badan. Seperti: berdiri shalat,
rukû’, sujud, haji,
puasa,
jihad,
membuang barang mengganggu dari jalan, dan lain-lain. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
ruku’lah, sujudlah, sembahlah Rabbmu dan berbuatlah kebajikan supaya kamu
mendapat kemenangan.” (QS al-Hajj: 77)
Rukun-Rukun Iman
Sesungguhnya iman memiliki
bagian-bagian yang harus ada, yang disebut dengan rukun-rukun (tiang; tonggak)
iman. Ahlus sunnah wal jamâ’ah meyakini bahwa rukun iman ada enam. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pada permulaan kitab beliau, ‘Aqîdah
al-Wâsithiyah’, “Ini adalah aqîdah Firqah an-Nâjiyah al-Manshûrah
(golongan yang selamat, yang ditolong) sampai hari kiamat, Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Yaitu: beriman kepada Allah Ta’ala, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian, dan beriman
kepada qadar, yang baik dan yang buruk”.[6]
Dalil rukun iman yang enam ini
adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
malaikat Jibrîl ‘alaihis salam, ketika menjelaskan tentang iman,
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ
وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ
بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Iman adalah engkau beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan
engkau beriman kepada qadar, yang baik dan yang buruk.”[7]
Rukun iman ini wajib diyakini oleh
setiap Mukmin. Barangsiapa mengingkari salah satunya, maka dia kafir.
Syaikh Muhammad Khalîl Harrâs
berkata, “Enam perkara ini adalah rukun-rukun iman. Iman seseorang tidak
sempurna kecuali jika dia beriman kepada semuanya dengan bentuk yang benar
sebagaimana ditunjukkan oleh al-Kitab dan Sunnah. Barangsiapa mengingkari
sesuatu darinya, atau beriman kepadanya dengan bentuk yang tidak benar, maka
dia telah kafir.” [8]
Iman Bertambah dan
Berkurang
Sudah dimaklumi banyak terdapat
nash-nash al-Qur`an dan as-Sunnah yang menjelaskan pertambahan iman dan
pengurangannya. Menjelaskan pemilik iman yang bertingkat-tingkat sebagiannya
lebih sempurna imannya dari yang lainnya. Ada di antara mereka yang disebut assaabiq
bil khoiraat (terdepan dalam kebaikan)[9],
al-Muqtashid (pertengahan)[10]
dan zholim linafsihi (menzholimi diri sendiri). Ada juga al-Muhsin,
al-Mukmin dan al-Muslim. Semua ini menunjukkan mereka tidak
berada dalam satu martabat. Ini menandakan bahwa iman itu bisa bertambah dan
berkurang.
Bukti dari Al Qur’an dan
As Sunnah Bahwa Iman Bisa Bertambah dan Berkurang
Pertama: Firman Allah Ta’ala ,
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ
إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا
وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati
Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan:
“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena
itu takutlah kepada mereka”, Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka dan
mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah
Sebaik-baik Pelindung“.” (QS Alimron: 173).
Para ulama Ahlus Sunnah menjadikan
ayat ini sebagai dasar adanya pertambahan dan pengurangan iman, sebagaimana
pernah ditanyakan kepada imam Sufyaan bin ‘Uyainah rahimahullah, “Apakah
iman itu bertambah atau berkurang?” Beliau rahimahullah menjawab,
“Tidakkah kalian mendengar firman Allah Ta’ala,
فَزَادَهُمْ
إِيمَانًا
“Maka perkataan itu menambah
keimanan mereka”. (QS Alimron: 173) dan firman Allah Ta’ala,
وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Dan Kami tambah pula untuk
mereka petunjuk”.(QS al-Kahfi: 13) dan beberapa ayat lainnya”. Ada yang
bertanya, “Bagaimana iman bisa dikatakan berkurang?” Beliau rahimahullah
menjawab, “Jika sesuatu bisa bertambah, pasti ia juga bisa berkurang”.[11]
Kedua: Firman Allah Ta’ala,
وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ
اهْتَدَوْا هُدًى وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا
وَخَيْرٌ مَرَدًّا
“Dan Allah akan menambah petunjuk
kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. dan amal-amal saleh yang kekal itu
lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya.” (QS
Maryam: 76).
Syeikh Abdurrahman as-Sa’di
menjelaskan tafsir
ayat ini dengan menyatakan, “Terdapat dalil yang menunjukkan pertambahan iman
dan pengurangannya, sebagaimana pendapat para as-Salaf ash-Shaalih. Hal ini
dikuatkan juga dengan firman Allah Ta’ala,
وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آَمَنُوا
إِيمَانًا
“Dan supaya orang yang beriman
bertambah imannya.” (QS al-Mudatstsir: 31) dan firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya).” (QS al-Anfaal:8/2)
Juga dikuatkan dengan kenyataan
bahwa iman itu adalah perkataan qolbu (hati) dan lisan, amalan qolbu, lisan dan
anggota tubuh. Juga kaum mukminin sangat bertingkat-tingkat dalam hal ini.[12]
Ketiga: Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي
وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا
يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah seorang pezina berzina
dalam keadaan mukmin dan tidaklah minum minuman keras ketika minumnya dalam
keadaan mukmin serta tidaklah mencuri ketika mencuri dalam keadaan mukmin”.[13]
Ishaaq bin Ibraahim an-Naisaaburi
berkata, “Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya tentang iman dan
berkurangnya iman. Beliau rahimahullah menjawab, “Dalil mengenai
berkurangnya iman terdapat pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan mukmin dan tidaklah
mencuri dalam keadaan mukmin.” [14]
Keempat: Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ
بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ
الْإِيمَانِ
“Iman itu lebih dari tujuh puluh
atau lebih dari enampuluh. Yang paling utama adalah perkataan: “Laa Ilaaha Illa
Allah” dan yang terendah adalah membersihkan gangguan dari jalanan dan rasa
malu adalah satu cabang dari iman.”[15]
Hadits yang mulia ini menjelaskan
bahwa iman memiliki cabang-cabang, ada yang tertinggi dan ada yang terendah .
Cabang-cabang iman ini bertingkat-tingkat dan tidak berada dalam satu derajat
dalam keutamaannya, bahkan sebagiannya lebih utama dari lainnya. Oleh karena
itu Imam At-Tirmidzi memuat bab dalam sunannya: “Bab Kesempurnaan, bertambah
dan berkurangnya iman”.
Syeikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
ketika menjelaskan hadits di atas menyatakan, Ini jelas sekali menunjukkan
iman itu bertambah dan berkurang sesuai dengan pertambahan aturan syariat dan
cabang-cabang iman serta amalan hamba tersebut atau tidak mengamalkannya. Sudah
dimaklumi bersama bahwa manusia sangat bertingkat-tingkat dalam hal ini. Siapa
yang berpendapat bahwa iman itu tidak bertambah dan berkurang, sungguh ia telah
menyelisihi realita yang nyata di samping menyelisihi nash-nash syariat
sebagaimana telah diketahui.[16]
Pendapat Ulama Salaf
Bahwa Iman Bisa Bertambah dan Berkurang
Sedangkan pendapat dan atsar
as-Salaf ash-Shaalih sangat banyak sekali dalam menetapkan keyakinan bahwa iman
itu bertambah dan berkurang, diantaranya:
Pertama: Dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, di antaranya :
Satu ketika Kholifah ar-Rsyid Umar
bin al-Khathaab rahimahullah pernah berkata kepada para sahabatnya,
هَلُمُّوْا نَزْدَادُ إِيْمَانًا
“Marilah kita menambah iman kita.”[17]
Sahabat Abu ad-Darda` Uwaimir
al-Anshaari rahimahullah berkata,
الإِيْمِانُ يَزْدَادُ وَ يَنْقُصُ
“Iman itu bertambah dan
berkurang.”[18]
Kedua: Dari kalangan Tabi’in, di antaranya:
Abu al-Hajjaaj Mujaahid bin Jabr
al-Makki (wafat tahun 104 H) menyatakan,
الإِيْمِانُ قَوْل وَ عَمَلٌ يَزِيْدُ
وَ يَنْقُصُ
“Iman itu adalah perkataan dan
perbuatan, bertambah dan berkurang.”[19]
Abu Syibl ‘Alqamah bin Qais
an-Nakhaa’i (wafat setelah tahun 60 H) berkata kepada para sahabatnya,
امْشُوْا بِنَا نَزْدَدُ إِيْمَانًا
“Mari kita berangkat untuk
menambah iman.”[20]
Ketiga: Kalangan tabi’ut Tabi’in, di antaranya:
Abdurrahman bin ‘Amru al-‘Auzaa’i
(wafat tahun 157 H) menyatakan,
الإِيْمِانُ قَوْل وَ عَمَلٌ يَزِيْدُ
وَ يَنْقُصُ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الإِيْمِانَ لاَ يَزِيْدُ وَ لاَ يَنْقُصُ
فَاحْذَرُوْه فَإِنَّهُ مُبْتَدِعٌ
“Iman adalah perkataan dan
perbuatan, bertambah dan berkurang. Siapa yang meyakini iman itu tidak
bertambah dan tidak berkurang maka berhati-hatilah terhadapnya karena ia adalah
seorang ahli bid’ah.”[21]
Beliau juga ditanya tentang iman, “Apakah
bisa bertambah?” Beliau menjawab, “Iya, hingga menjadi seperti
gunung.” Beliau ditanya lagi, “Apakah bisa berkurang?” Beliau rahimahullah
menjawab, “Iya, hingga tidak tersisa sedikitpun darinya”.[22]
Ketiga: Empat imam madzhab (Aimmah arba’ah), di antaranya:
Muhammad bin Idris asy-Syaafi’i rahimahullah
menyatakan,
الإِيْمِانُ قَوْل وَ عَمَلٌ يَزِيْدُ
وَ يَنْقُصُ
“Iman itu adalah perkataan dan
perbuatan bertambah dan berkurang.”[23]
Ahmad bin Hambal rahimahullah menyatakan,
“Iman itu sebagiannya lebih unggul dari yang lainnya, bertambah dan berkurang.
Bertambahnya iman adalah dengan beramal. Sedangkan berkurangnya iman dengan
tidak beramal. Dan perkataan adalah yang mengakuinya.”[24]
Demikianlah pernyataan dan pendapat para ulama
ahlus sunnah seluruhnya, sebagaimana dijelaskan syeikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
dalam pernyataan beliau, “Para Salaf telah berijma’ (bersepakat)
bahwa iman
[1] al-Fawaaid hal. 191.
[3] Syarh
Aqîdah Wâsithiyah, hlm. 231, karya Syaikh Muhammad
Khalîl Harrâs, takhrîj: ‘Alwi bin Abdul Qadir as-Saqqâf
[4] HR.
al-Bukhâri, no: 25, dari `Abdullâh bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.
[6] Syarh
Aqîdah Wâsithiyah, hlm: 60-61, karya Syaikh Muhammad
Khalîl Harrâs, takhrîj: ‘Alwi bin Abdul Qadir as-Saqqâf
[7] HR.
al-Bukhâri, no.50; Muslim, no. 9.
[8] Syarh
Aqîdah Wâsithiyah, hlm: 61-62, karya Syaikh Muhammad
Khalîl Harrâs, takhrîj: ‘Alwi bin Abdul Qadir as-Saqqâf
[10] Al
Muqtashid adalah yang hanya mencukupkan diri
dengan mengerjakan yang wajib dan menjauhi yang haram. (ed)
[11] Diriwayatkan
kisah ini oleh al-Aajuriy dalam kitab asy-Syari’at hlm 117
[12] Tafsir
as-Sa’di 5/33
[14] Diriwayatkan
oleh al-Kholaal dalam kitab as-Sunnah no. 1045
[16] At-Taudhih
wa al-Bayaan Lisyajarat al-Imaan hlm 14.
[17] Diriwayatkan
ibnu Abi Syaibah dalam al- Mushannaf 11/26 dengan sanad shahih
[18] Diriwayatkan
Abdullah bin Ahmad dalam kitab as-Sunnah 1/314
[19] Diriwayatkan
Abdullah bin Ahmad dalam kitab as-Sunnah 1/335
[20] Diriwayatkan
ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 11/25 dan dinilai hasan oleh al-Albani
dalam komentar beliau terhadap kitab al-Iman karya ibnu Abi Syaibah.
[21] Diriwayatkan
al-Aajuuri dalam kitab asy-Syari’at hlm 117.
[22] Diriwayatkan
al-Laalakai dalam Ushul I’tiqaad 5/959.
[23] Diriwayatkan
Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 10/115
No comments:
Post a Comment