A. Pengertian Penikahan siri
Pernikahan siri atau sering disebut nikah siri yang beredar pada masyarakat, ada tiga macam yaitu: Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di Lembaga Pencatatan Sipil Negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan, ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu, dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.[1]
Salah satu alasan pernikahan adalah karena adanya rasa cinta, rasa ingin berbagi, ingin memiliki dan ingin membentuk rencana indah di kemudian hari. Jangan lupa bahwa dalam pernikahan juga ada dorongan nafsu seksual dan hasrat yang meluap. Kalau ada yang tidak setuju dengan adanya nafsu ini, silahkan buktikan apakah sering ditemui pasangan yang menikah tetapi tidak pernah berhubungan badan selama hidupnya. Rasanya sedikit sekali atau bahkan tidak ada yang seperti itu.
Oleh karena itu terkesan agak sembarangan jika menuduh orang yang menikah siri adalah orang yang mengutamakan nafsunya. Ukuran nafsu ini relatif. Ada orang yang menikah siri memang karena nafsunya yang kelewat besar. Yang model seperti ini, kambing yang di hias juga mau. Ada yang berprinsip hukum dagang, saling menguntungkan kedua belah pihak. Pihak pria memberikan nafkah lahir, dan pihak wanita memberikan nafkah batin, yang mungkin tidak diperoleh dengan baik dari istrinya yang resmi (yang ada bukti suratnya).
Ada yang karena perbedaan agama dan orang tuanya tidak setuju dengan perbedaan itu. Ada juga yang karena perbedaan umur yang cukup mencolok. Misalnya sang pria sudah berumur diatas 45 tahun, dan sang wanita masih berumur 20-25 tahun. Akan menjadi bahan tertawaan orang seandainya umur mertua lebih muda dari umur menantunya.
Nah, pada waktu MUI masih menggodok RUU tentang nikah siri ini, apakah sudah terpikirkan akan hal-hal sebagai berikut :
- Jumlah kaum wanita lebih banyak dari kaum pria
- Tidak semua isteri menyetujui suaminya menikah lagi
- Tidak semua isteri mengerti bagaimana melayani suaminya dengan baik
- Tidak semua suami hasrat seksualnya terpenuhi oleh sang isteri, meskipun demikian, sang suami tetap tidak berniat menceraikan isterinya
- Tidak semua wanita sanggup mencari pekerjaan dengan baik. Jika ada yang mau menikahinya secara siri, mengapa tidak, daripada harus terjerumus menjadi penjaja cinta jalanan?
- Pernikahan siri dapat menghasilkan pemerataan pendapatan, walaupun persentase-nya mungkin kecil sekali.
- Pelarangan pernikahan siri akan menimbulkan dampak sosial meningkatnya pelacuran, karena adanya masalah ekonomi dari sang pelaku, termasuk juga adanya ketakutan para pria untuk masuk penjara selama 3 bulan (sangsi dari nikah siri ini).[2]
B. Hukum pernikahan siri
1. Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].