اَلْحَمْدُ
لِلهِ، نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ
شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا
مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللهُ وَاَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ
صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا
إِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ أَمَّابَعْدُ.
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْ اللهَ ,اِتَّقُوْ اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْ اللهَ ,اِتَّقُوْ اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
Maasiral
Muslimin Jamaah Jumah Rahimakumullah
Dalam
khutbah ini marilah kita memantapkan kembali komitmen dan janji kita, untuk
senantiasa menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Allah. Berupa al-wajibat
maupun al-mandubat. Kita lakukan dengan penuh kesungguhan,
kesadaran, dan keikhlasan. Karena itu yang menjadikan kita masuk ke dalam
kategori imtitsal kepatuhan yang tidak bersyarat, dalam situasi apa pun
dan keadaan apa pun.
Harus
kita tinggalkan juga segala hal yang dilarang, dan tentu larangan ini berkaitan
untuk kebaikan kita di kehidupan ini. Ketika kita tinggalkan maka ia bisa
menjaga kita masuk ke dalam hal-hal yang menjerumuskan atau menganggu di dalam
kehidupan. Ini yang disebut dengan al-manhiyat yang berupa al-muharramat
larangan bersifat tegas maupun al-makruhat larangan bersifat
anjuran, sebaiknya kita tinggalkan.
Maasiral
Muslimin Rahimakumullah
Sesungguhnya
untuk menjadi baik, seorang muslim yang baik, Allah telah memberikan tuntunan
melalui syariatNya dan lewat perantara Nabi yang disampaikan kepada kita. Para
ulama di dalam tafsiran memberikan pemahaman bahwa ada lima bentuk hidayah.
Lima petunjuk yang diberikan Allah kepada manusia. Manusia sebagai mandataris
atau khalifah Allah di bumi.
Sebagai
mandataris, Allah telah memberikan sistem di kehidupan ini sebagai syariat. Ada
ketentuan yang diberikan Allah melalui ajaran agama, ada ketentuan yang
diserahkan Allah kepada manusia melalui kemampuan akal dan logika
pikiran, ada ketentuan yang secara otomatis melekat di dalam setiap
penciptaan makhlukNya, termasuk manusia di dalamnya.
Yang
pertama, ada hidayatu al-Fitri al-Ilahiyyi. Hidayah/petunjuk yang secara
otomatis melekat di dalam setiap penciptaan Allah, dalam setiap makhluk-Nya di
alam semesta ini. Apakah itu manusia, malaikat, atau binatang sekali pun dan
seluruh ciptaan yang lain, termasuk al-jamadat tumbuh-tumbuhan, an-nabatat
seluruhnya telah diberikan hukum-hukum yang berlaku di dalam kehidupan
masing-masing (makhluk).Ada fitrah yang secara otomatis melekat di dalam setiap
penciptaan, yang menjadi petunjuk bagi kehidupannya masing-masing.
Seorang
bayi, ketika dia lahir secara otomatis saat dalam keadaan lapar maka dia akan
menangis. Menangisnya bayi adalah fitrah ilahiyyah. Tidak perlu bayi
menunggu untuk sekolah dulu untuk bisa menangis karena lapar. Hidayah ini
bersifat given/pemberian, secara otomatis diberikan oleh Allah dan
melekat di dalam sistem yang ada di dalam setiap penciptaan. Binatang pun juga
demikian, dia mempunyai fitrah ilahiyyah. Ada karakter dan insting.
Dan keseluruhan itu adalah ashlu al-khilqah asal penciptaan sudah berada
dalam sistem penciptaan alam semesta.
Yang
kedua, ada hidayatu al-hawasy. Ada petunjuk Allah yang ditempelkan dan
melekat pada indra. Kalau manusia disebut dengan pancaindra. Seluruh
makhluk yang mempunyai indra itu pemberian dari Allah. Mulut itu untuk
merasakan sesuatu, mata itu indranya untuk melihat. Manusia diberi itu,
binatang pun juga diberi itu. Makhluk Allah yang lain pun diberi itu. Meskipun
kita terkadang tidak bisa mengilmiahkan itu, tetapi dia (makhluk) ada perasaan,
hawasy, indra yang dilekatkan di dalam setiap penciptaan makhluk.
Bahkan
indra yang dimiliki selain manusia itu jauh lebih sempurna. Karena proses
penyempurnaan itu tidak perlu terjadi dan dilakukan untuk (makhluk) selain
manusia. Anak kucing itu ketika telah lahir dari induknya maka secara otomatis
dia bisa lari. Begitu juga anak kambing, juga setelah lahir langsung bisa
berjalan dan otomatis bisa berlari. Karena Allah menciptakan indra untuk
binatang itu sudah sempurna sejak awal diciptakan tanpa melalui proses
penyempurnaan.
Tapi
untuk manusia tidak, indra yang dimiliki manusia untuk bisa sempurna akan
melalui sebuah tahapan dan ada proses untuk menjadi sempurna. Proses itu nanti
akan disempurnakan oleh yang ketiga yaitu hidayatu al-Aqli. Ada hidayah
kecerdasan, ada keilmuan yang harus dipenuhi oleh manusia untuk bisa
menyempurnakan kekuatan indranya.
Burung
elang diciptakan oleh Allah, mempunyai kekuatan indra (mata) yang luar biasa
ketajamannya. Mata kita tidak ada apa-apanya. Elang tidak perlu teknologi,
tidak perlu belajar secara ilmiah alat untuk mendeteksi dan melihat. Tetapi
manusia, supaya bisa menciptakan matanya agar mampu memandang dan menembus
kekuatan yang luar biasa maka mata kita ini perlu diilmiahkan. Perlu diberi
ilmu.
Begitu
pula kaki kita, tidak mungkin kita bisa melewati air dari sungai dan lautan,
tanpa ilmu. Tetapi, ikan bisa berenang tanpa harus tenggelam, dia tidak mati
tanpa menggunakan alat (pernapasan). Kenapa, karena sejak dilahirkan dan
diciptakan oleh Allah di dunia ini, dia sudah diberi kesempurnaan indra itu.
Tapi manusia untuk bisa melebihi dari (makhluk) yang lain, kata kuncinya adalah
pada hidayatu al-Aqli. Kecerdasan empirik, ilmiah. Itu membutuhkan
belajar dan ilmu. Juga kekuatan untuk memahami di dalam proses kehidupan ini.
Burung
untuk terbang itu tidak perlu sekolah, tapi manusia untuk bisa terbang dia
perlu teknologi. Yang melibatkan sekian macam disiplin ilmu pengetahuan. Burung
diciptakan al-hawasynya sudah sempurna, tidak perlu ada proses. Tidak
perlu faatba’a sababa. Wa ja’alna likulli syai’in sababa, dalam arti
proses dan ilmu pengetahuan itu tidak perlu (bagi burung). Manusia untuk bisa
terbang harus mempunyai ilmu. Teknologi yang berhubungan dengan hal penerbangan
itu.
Yang
keempat, hidayatu ad-Din. Manusia yang berilmu belum tentu hidupnya
sempurna. Manusia yang berilmu tanpa agama sesungguhnya dia masih jauh untuk
menjadi manusia yang baik. Allah memberikan hidayah ini melalui perantara
seorang rasul yang diberikan tugas untuk menyebarkan petunjuk agama. Tidak
seluruh aspek dalam agama bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia. Kecerdasan
ilmu pengetahuan tidak mungkin menjangkau seluruh (aspek) dalam agama terutama
yang berkaitan dengan al-Ma’ad, persoalan-persoalan yang ghaibat,
sam’iyyat, tidak mungkin logika kita bisa sampai kesana.
Oleh
karena itu perlu seorang rasul, kiai, ustad, dan muballigh yang menyampaikan
itu. Yang menunjukkan bahwa nanti ada hari akhir, ada hisab, ada mizan, ada
pembalasan surga dan neraka. Itu semua tidak mungkin dijangkau oleh wilayah
empiris, logika, dan pikiran manusia. Yang bisa menyampaikan (hidayah ini)
adalah orang yang ditunjuk oleh Allah, seorang rasul dan diteruskan oleh para
ulama sebagai waratsatu al-anbiya’.
Oleh
karena itu, belajar agama perlu seorang guru. Perlu sanad yang jelas.
Kitab yang jelas, dan refrensi yang jelas. Tidak bisa mengandalkan kekuatan
logika pikiran tanpa ada yang memberikan garansi atas validitas dan kebenaran
ilmu agama itu. Dan itu semua hanya ada di pesantren.
Tapi
belum tentu orang yang mengerti agama bisa melakukan perbuatan baik. Orang yang
sudah belajar agama belum bisa dipastikan bahwa dia akan menjadi orang yang
baik. Bahkan orang yang sudah mengerti tentang agama pun belum tentu dia mau
beriman kepada Allah. Orang yang tahu shalat dhuha itu baik, belum tentu mau
melaksanakan. Orang yang tahu bahwa sedekah itu baik, belum tentu mau sedekah.
Kenapa,
karena masih ada hidayah yang tertinggi. Yaitu hidayatu at-Taufiq wa
al-Mau’unah. Dan ini menjadi hak prerogatif Allah sepenuhnya. Seorang rasul
pun tidak diberi kewenangan untuk memberikan hidayah tersebut. ‘Kekuatan’ untuk
bisa melakukan apa yang diketahui, untuk menjadi sesuatu yang diamalkan di
dalam kehidupan, untuk menjadi orang baik dan beriman, orang yang patuh dan
melakukan (kebaikan), diperlukan taufiq wa ma’unah. Dan hanya Allah yang
berhak untuk memberikan itu. Seorang rasul pun, Allah berfirman innaka la
tahdi man ahbabta, walakinna allaha yahdi man yasya’. Seorang kiai hanya
bertugas untuk menyampaikan. Tetapi apakah seseorang mau beriman atau tidak itu
bukan lagi menjadi otoritas seorang rasul.
Maka
tidak boleh seorang kiai memaksakan seseorang untuk beriman. Karena beriman
adalah sebuah pilihan yang memberi petunjuk itu adalah Allah. Orang yang sudah
mau ngaji itu sudah sangat dekat dengan hidayatu at-Taufiq. Sehingga
Allah menyebutkan, man yuridi allahu bihi khoiran yufaqqihu fi ad-din. Kalau
anda sudah diberi kekuatan oleh Allah untuk mau mengaji, senang berkumpul
dengan orang yang bisa ngaji, maka anda sudah dengan kebaikan yang dikehendaki
oleh Allah.
Oleh
karena itu, bagi anda yang sudah berilmu bukan berarti sudah final. Tetapi kita
memohon kepada Allah, dengan ilmu Allah memberikan kemanfaatan ilmu itu agar
menjadi berkah dan manfaat. Bisa menjadi sebuah amaliah, yang dari situ akan
mendapatkan sebuah nilai nanti di akhirat.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم إنَّهُ تَعَالى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ رَؤُوْفٌ الرَّحِيْمُ
No comments:
Post a Comment