Wellcome to Jeymind18

Tuesday 5 March 2013

Imam Al-Ghazali

-->
1.      Biografi Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 Hijrah bersamaan dengan tahun 1058 Masehi di bandat Thus, Khurasan (Iran). Salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i (lahir 1058 di Thus, Propinsi Khurasan, Persia (Iran), wafat 1111, Thus) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan. Gelar ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan. Sedangkan gelar asy-Syafi’i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi’i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
Sifat Pribadi Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulaikan pengembaraan, beliau telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi beliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara, zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridho Allah SWT.
Pendidikan Al-Ghazali Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab dan Persia dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, beliau mulai mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih, filsafat, dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah dilantik menjadi maha guru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Ia telah mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah, Madinah, Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.
*      Karya-Karya Al-Ghazali
1.      Teologi :
·         Al-Munqidh min adh-Dhalal.
·         Al-Iqtishad fi al-I`tiqad.
·         Al-Risalah al-Qudsiyyah.
·         Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din.
·         Mizan al-Amal.
·          Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah.

2.      Tasawuf :
·         Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), merupakan karyanya yang terkenal.
·          Kimiya as-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan).
·          Misykah al-Anwar (The Niche of Lights).

3.      Filsafat :
·         Maqasid al-Falasifah.
·         Tahafut al-Falasifah,buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence).

4.      Fiqih :
·         Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul.
·         Al-Wajiz.

5.      Logika :
·         Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge).
·         al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance).
·         Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic).

2.      Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan
Sistem pendidikan al-Ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, sehingga dijuluki filosof yang ahli tasawuf (Failasuf al-Mutasawwifin) Dua corak ilmu yang telah terpadu dalam dirinya itu kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam sistem pendidikannya.
Ciri khas sistem pendidikannya al-Ghazali sebenarnya terletak pada pengajaran moral religious dengan tanpa mengabaikan urusan dunia. Adapun beberapa Konsep pendidikan yang diberikan oleh Al-Ghazali meliputi :
1.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqorrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemudharatan, Al-Ghazali berkata :
“Hasil dari ilmu sesungguhnya ialah mendekatkan diri kepada Allah, dan menghubungkan diri dengan para malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah kebebasan, pengaruh pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri”.
Menurut al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu tidak akan diperoleh kecuali melalui pengajaran. Selanjutnya, dari kata-kata tersebut dapat difahami bahwa menuru al-Ghazali tujuan pendidikan dapat dibagi menjadi 2 yaitu tujuan jangka panjang dan pendek.
a.       Tujuan Pendidikan Jangka Panjang
Tujuan Pendidikan Jangka Panjang adalah mendekatkan diri kepada Allah, pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada Allah. Menurut konsep ini, dapat dinyatakan bahwa semakin lama seseorang duduk dibangku pendidikan, semakin bertambah ilmu pengetahuannya, maka semakin mendekat kepada Allah.
Tentu saja untuk mewujudkan hal itu bukanlah sistem pendidikan yang memisahkan ilmu-ilmu keduniaan dari nilai-nilai kebenaran dan sikap religius, tetapi sistem pendidikan yang memadukan keduanya secara integral. Sistem inilah yang mampu membentuk manusia yang mampu melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan dan sistem pemdidikan al-Ghazali mengarah kesana.

b.      Tujuan Pendidikan Jangka Pendek
Tujuan pendidikan jangka pendek adalah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu adalah, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan baik yang fardu ‘ain maupun fardu kifayah.

Kesimpulan tujuan pendidikan menurut al-Ghazali :
1)      Mendekatkan diri kepada Allah yang wujudnya adalah kemampuan dan dengan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.
2)      Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
3)      Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
4)      Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
5)      Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manisiawi.

2.      Kurikulum Pendidikan
Pandangan al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangan mengenai tentang ilmu pengetahuan. Kurikulum pendidikan yang disusun al-Ghazali sesuai pandanganya mengenai tujuan pendidikan yakni mendekatkan diri kepada Allah yang merupakan tolak ukur manusia. Untuk menuju kesana diperlukan ilmu pengetahuan.
 Mengurai kurikulum pendidikan menurut al-Ghazali, ada dua hal yang menarik bagi kita. Pertama, pengklasifikasian terhadap ilmu pengetahuan yang sangat terperinci yang segala aspek yang terkait dengannya. Kedua, pemikiran tentang manusia dengan segala potensi yang dibawanya sejak lahir.
 Semua manusia esensinya sama. Ia sudah kenal betul dengan pencipta sehingga selalu mendekat padanya dan itu tidak akan berubah. Al-Ghazali mengklasifikasikan manusia adalah pribadi yang satu yang tidak dapat disamakan dengan pribadi yang lain. Tingkat pemahaman, daya tangkap, dan daya ingatnya terhadap ilmu pengetahuan, kemampuan menjalankan tugas hidupnya berbeda antara orang yang satu dengan yang lain.
 Oleh karena itu dalam kaitannya dengan kurikulum al-Ghazali mendasarkan pemikiranya bahwa kurikulum pendidikan harus disusun dan selanjutnya disampaikan kepada murid sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan psikisnya.
Selanjutnya al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan dari beberapa sudut pandang, yaitu :
a.       Berdasarkan pembidangan ilmu
Berdasarkan pembidangan ilmu dibagi menjadi dua bidang, yaitu yang pertama ilmu syari’ah sebagai ilmu terpuji terdiri atas ilmu ushul, ilmu furu’, ilmu pengantar, muqoddimah, dan ilmu pelengkap. Yang kedua yaitu ilmu yang bukan ilmu syari’ah, terdiri dari ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian, pembangunan, tata pemerintahan, industri, kebudayaan, sastra, ilmu tenun dan pengolahyan pangan.
b.      Berdasarkan objek
Ilmu dibagi atas tiga kelompok, yaitu :
1)      Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak baik sedikit ,maupun banyak. Seperti, sihir, azimat, dan ilmu tentang ramalan nasib.
2)      Ilmu pengetahuan yang terpuji. Seperti ilmu agama, dan ilmu tentang beribadat.
3)      Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji tapi jika mendalaminya tercela. Seperti dari filsafat naturalisme. Menurut al-Ghazali ilmu tersebut juga diperdalam akan menimbulkan kekacauan fikiran dan keraguan, sehingga mendorong manusia kepada kufur dan ingkar.

c.       Berdasarkan status hukum mempelajarinya yang terkait dengan nilai guna
Dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1)      fardu ain, yang wajib dipelajari setiap individu misalkan ilmu agama dan cabang-cabangnya.
2)      fardu kifayah, yaitu ilmu yang tidak diwajibkan pada setiap muslim tetapi harus ada diantara orang muslim yang mempelajarinya. Misalkan ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian, politik, dan pengobatan tradisional.

3.       Pendidik
Dalam hal ini al-Ghazali berkata :
“Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia. Sedangkan yang paling mulia penampilanya ialah kalbunya. Guru atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntutnya untuk dekat kepada Allah”.
Dia juga berkata ;
“Seseorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan oranng besar dibawah kolong langit ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia sendiri pun harum“.
Menurut al-Ghazali seorang pendidik atau guru harus memiliki beberapa sifat sebagai berikut :
*      Bertanggug jawab.
*      Sabar.
*      Duduk tenang penuh wibawa.
*      Tidak sombong terhadap semua orang, kecuali terhadap orang yang dzolim dengan tujuan untuk menghentikan kedzolimanya.
*      Mengutamakn bersikap tawadhu’ di majlis-majlis pertemuan.
*      Tidak suka bergurau dan bercanda.
*      Ramah terhadap para pelajar.
*      Teliti dan setia mengawasi anak yang nakal.
*      Setia membimbing anak yang bebal.
*      Tidak gampang marah kepada anak yang bebal dan lambat pemikiranya.
*       Tidak malu untuk mengatakan akan ketidaktahuannya tentang persoalan yang belum ditekuninya.
*      Memperhatikan murid yang bertanya dan berusaha menjawabnya dengan baik.
*      Manerima alasan yang diajukan kepadanya.
*      Tunduk kepada kebenaran.
*      Melarang murid yang mempelajari ilmu yang membahayakan.
*      Memperingatkan murid mempelajari ilmu agama tetapi untuk kepentingan selain Allah.
*      Memperingatkan murid agar tidak sibuk mempelajari ilmu fardu kifayah sebelum selesai dengan mempelajari ilmu fardu ‘ain.
*      Memperbaiki ketaqwaaanya kepada Allah.
*      Mempraktekkan makna taqwa dalam kehidupan sehari-harinya ssebelum memerintahkan kepada murid agar murid mengikuti perbuatanya dan agar murid mengambil manfaat dari ucapan-ucapanya.



4.      Peserta didik
Al-Ghazali berkata :
“Seorang pelajar hendaknya tidak menyobongkan diri dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah sepenuhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasihatnya sebagaimana seoorang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli dan berpengalaman. Seharusnya seorang pelajar itu tunduk kepada gurunya, mengaharap pahala dan kemuliaan dengan tunduk kepadanya.”
Sedangkan menurut al-Ghazali, peserta didik haruslah sebagai berikut :
*      Hendaknya memberi ucapan salam kepada guru terlebih dahulu.
*      Tidak banyak bicara di hadapanya.
*      Tidak berbicara selagi tidak ditanya gurunya.
*      Tidak bertanya sebelum memintya izin terlebih dahulu.
*      Tidak menentang ucapan guru dengan ucapan (pendapat) orang lain.
*      Tidak menampakkan peetentangannya terhadap pendapat gurunya, apalagi menganggap diriya lebih pandai dari gurunya.
*      Tidak boleh berisik kepada teman yang duduk di sebelahnya ketika guru sedang berada dalam majlis itu.
*      Tidak menoleh-noleh ketika sedang berada di hadapan gurunya, tetapi harus menundukkan kepala dan tengang seperti dia sedang melakukan shalat.
*      Tidak banyak bertanya kepada guru, ketika kondisi guru dalam keadaan letih.
*      Hendaknya berdiri ketika gurunya berdiri dan tidak berbicara denganya ketika dia sudah beranjak dari tempat duduknya.
*      Tidak mengajukan pertanyaan kepada guru di tengah perjalananya.
*      Tidak berprasangka buruk pada guru ketika ia melakukan perbuatan yang dhohirnya munkar, sebab dia lebih mengetrahui rahasia (perbuatanya).

5.      Media dan Metode
Metode dan media yang dipergunakan menurut Al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajaran.
Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pandapat Al-Ghazali tentang metode dan metode pengajaran. Untuk metode, misalnya menggunakan metode mujahadah dan riyadhlah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli, serta bimbingan dan nasehat. Sedangkan media / alat digunakan dalam pengajaran, al-Ghazali menyetujui adanya pujian dan hukuman, di samping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang mulia.
6.      Proses Pembelajaran
Al-Ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehinggga dapat menumbuhkembangkan segala potensi fitrah anak, baik dalam hal usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi materi pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pengajaran yang dapat mengarahkan kepada akhlak yang mulia. Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada tahap pertama ialah ilmu agama dan syariat, terutama al-Qur’an.
3.      Relevensi Pandangan Al-Ghazali Bagi Kebutuhan Pengembangan Pendidikan Islam Dewasa Ini
Ismail Razi al-Faruqi mengemukakan bahwa inti masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini adalah masalah pendidikan dan tugas terberatnya adalah memecahkan masalah tersebut.
Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dilihat dari outputnya, yakni orang-orang yang menjadi produk pendidikan. Apabila sebuah proses pendidikan menghasilkan orang-orang yang bertanggungjawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugasnya kepada Tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila outputnya adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan tersebut dianggap gagal.
Ciri-ciri utama dari kegagalan proses pendidikan ialah manusia-manusia produk-produk pendidikan itu lebih cenderung mencari kerja dari pada menciptakan lapangan kerja sendiri. Kondisi demikian terlihat dewasa ini, sehingga lahir berbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas.
Diberbagai media masa telah banyak diungkapkan mengenai rendahnya mutu pendidikan nasional kita. Keadaan ini mengundang para cendekiawan mengadakan penelitian yang berkaitan dengan mutu pendidikan. Berbicara mengenai mutu pendidikan masalahnya menjadi sangat komplek. Oleh karena itu dapat disadari bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak dapat lepas dari proses perubahan siswa didalam dirinya. Perubahan yang dimaksud mencakup dalam pengetahuan, sikap, dan psikomotor.
Berangkat dari kondisi pendidikan kita, seperti telah dikemukakan di atas, tampak pemikiran al-Ghazali sangat relevan untuk dicoba diterapkan di Indonesia, yang secara gamblang menawarkan pendidikan akhlak yang paling diutamakan.
Untuk lebih jelasnya, sumbangan pemikiran al-Ghazali bagi pengembangan dunia pendidikan Islam khususnya, dan pendidikan pada umumnya, dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikan
Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu:
a.       Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
b.      Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat.
Pendapat al-Ghazali tersebut disamping bercorak religius yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, cenderung untuk membangun aspek sufistik. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Dengan demikian, modal kebahagiaan dunia dan akhirat itu tidak lain adalah ilmu.
Secara implisit, al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu kewajibannya, baik sebagai hamba Allah, maupun sebagai sesama manusia.
Dalam sudut pandang ilmu pendidikan Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapat perhatian serius. Hal ini dimaksudkan untuk melatih pendidikan akal manusia agar berfikir dengan baik sesuai dengan petunjuk Allah dan Rosul-Nya. Adapun mengenai pendidikan hati seperti dikemukakan Al-Ghazali merupakan suatu keharusan bagi setiap insan.
Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk manusia paripurna, berbahagia didunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan dengan upaya pendidikan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
2.      Materi pendidikan Islam
Imam al-Ghazali telah mengklasifikasikan materi (ilmu) dan menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan anak didik juga sesuai dengan nilai yang diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik.
Yang menarik adalah hingga hari ini pendidikan Islam dinegara kita masih jauh terbelakang, dalam arti bahwa pendidikan Islam hari ini masih membedakan antara ilmu agama (Islam) dan ilmu umum. Corak pembidangan ilmu itu ternyata berimbas pada orientasi pendirian lembaga pendidikan Islam. Misalnya setingkat IAIN saja, tercermin bahwa ilmu yang dipelajari ternyata hanya terbatas di seputar ilmu agama Islam saja dalam arti sesempit-sempitnya. Sementara pandangan al-Ghazali pada lebih dari seribu tahun yang lalu tidak membedakan pembidangan ilmu semacam ini di Indonesia pada khususnya dan didunia Islam pada umumnya.
Untuk menghilangkan kesan dikotomi ilmu, dewasa ini lembaga pendidikan tinggi Islam milik pemerintah seperti IAIN meningkatkan lembaganya ketingkat lebih tinggi yakni ketingkat universitas seperti munculnya UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Bandung dsb.
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangat bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik misalnya pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan, materi ini telah hilang dilembaga-lembaga pendidikan. Jangankan disekolah yang berlabel umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini sudah tidak ada.
Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu.
3.      Metode pendidikan Islam
Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah.
Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat.
Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersifat sempurna maka agama bagi murid dijadikan pembimbing akal.
Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna, tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai pelaksana dari penggunaan metode pendidikan.
Nana Sudjana dan Daeng Arifin mengemukakan bahwa proses pendidikan akan terjalin dengan baik ketika antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.
Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.

No comments:

Featured post

Hak dan kewajiban suami istri menurut imam mazhab

--> Kewajiban suami atau hak istri a)       Meminpin, memelihara dan membimbing keluargaserta menjaga dan bertanggung jawab atas ...

Popular Posts