Wellcome to Jeymind18

Tuesday 5 March 2013

Aliran Jabariyah

-->
  1. PRNGERTIAN JABARIAH
           Sebelum kita memahami dan mengenal lebih dalam mengenai sejarah kemunculan aliran Jabariyah ini, perlu saya paparkan pengertian dari kata Jabariyah itu sendiri, baik secara etimologi maupun sacara terminologi. Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara dalam bahasa Arab yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu.
Pengertian arti kata secara etimologi diatas telah dipahami bahwa kata jabara merupakan suatu paksaan di dalam melakukan setiap sesuatu. Atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Kata Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa’ nisbah) mengandung pengertian bahwa suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan kembali dalam berbagai referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa paham Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Allah
Dapat Kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri.
  1. SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN JABARIYAH
Mengenai asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa faktor. Antara lain
1. Faktor Politik
Pendapat Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan manusia.
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat).
2 faktor geografi
Para ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Situasi demikian, bangsa Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keingianan mereka sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup
Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu[1]. Dengan kata lain manusia mengerjakanperbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris, jabariyah disebut fatalism atau fresdistination yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qada dan qadar Tuhan[2].
Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jambiyah dalam kalangan murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umaiyah[3]. Namun dalam perkembangannya, paham al-Jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Tokoh utama Jabariyah adalah jaham ibn Sofwan karena mazhab ini sering pula disebut mazhab Jahamiyah.Jaham ibn Sofwan berasal dari Persia, setelah ia masuk Islam kemudian menjadi pegawai al-Haris ibn Suraij (kelompok bendera hitam yang memberontak pada bani Umaiyah), Jaham akhirnya tertangkap dan dihukum mati. Riwayat hidup Jaham ibn Sofwan tidak diketahui orang secara jelas[4].
Pokok paham jabariyah yang penting anatara lain ialah manusia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat (qudrat) dan tidak mempunyai kemampuan pula untuk memilih (iradat) pada hakikatnya segala gerak atau pekerjaan manusia itu akan dibalas dengan surga atau neraka.
Lebih lanjut, harun nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat tidak melihat jalan untuk merubah keadaan sekelilingmereka sesuai dengan keinginannya sendiri.mereka merasa lemah menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam.
Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
a.       Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sekarang sedang bertengkar masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkat persoalan tersebut agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir[5].
b.      Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diintrogasi pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu Umar marah sekali dan menganggap orang tersebut telah berdusta pada Tuhan[6].
c.       Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai perang Shiffin ditanya seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qada dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pula makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
d.      Pada pemerintahan Daulat bani Umaiyah, pandangan tentang al-Jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah bin Abbas, melalui surannya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syria yang diduga paham Jabariyah[7].
Berkaitan dengan kemunculan Jabariyah ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama kristen bermazhab Yacobit[8]. Namun, tanpa pengaruh asing itu paham al-Jabar akan muncul juga dikalangan umat Islam.
Di dalam Al-qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham ini:
Artinya: kalau sekirannya kami turunkan malaikat kepada mereka dan orang-orang yang telah mati berbiacara dengan mereka dan kami kumpulkan pula segala sesuatu kehadapan mereka, niscaya mereka tidak juga beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Al-[9]An’am: 111)
Artinya: Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. ( QS. Ash-Shaffat: 96)
Ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir Jabariyah masih ada dikalangan umat Islam hingga kini walaupun anjurannya telah tiada. Dalam perjalanan sejarahnya, Islam perjalanan terkontaminasi pemikiran dari luar Islam tentang memahami masalah taqdir. Sehingga muncul paham yang saling bertolak belakang yaitu paham Jabariyah dan paham Qadariyah. Paham Jabariyah muncul karena terpengaruh karena pemikiran dari aliran Determinismus dan Theologis Islam. Paham ini mula-mula timbul di Khurasan (persi) dengan pimpinannya yang pertama bernama Jaham bin Shafwan dan karena itu mazhabnya disebut mazhab Jahamiah. Mazhab ini banyak Yakubiah dalam agama Kristen.
Ternyata Jaham bin Shafwan mendirikan aliran Jabariyah ini belajar dari seorang Yahudi yang masuk Islam bernama Thalut A’sam. Paham Jabariyah berpendirian bahwa Allah saja yang menentukan, menetapkan dan memutuskan segala nasib hingga amal perbuatan manusia. Hanya qudrat dan Iradat Allah yang berlaku. Manusia diibaratkan sebagai kapas yang berterbangan mengikuti tiupan angin. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilih jalan hidupnya. Paham Jabariyah melegitimasi pendiriannya dengan berpegang kepada ayat al-qur’an surat Ash-Shaffat ayat 96 yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”
Setelah itu muncullah paham lain yang bertolak belakang dengan paham Jabariyah. Paham ini menyebut dirinya dengan nama Indeterminismus Theologis Islam yang dipelopori oleh Ma’bad al-Juhani al-Bisri dan Al-Ja’du bin Dirham, sekitar tahun 70 H / 689 M. Jika paham Jabariyah menyatakan bahwa semua perbuatan manusia berpangkal pada Qudrat dan Iradat Allah, maka para penguasa dari golongan ini menyandarkan semua perbuatan dan kezaliman yang dilakukan kepada kehendak Allah.
  1. Para Pemuka Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: ekstrims dan moderat. Doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatanyang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya[10].
Di antara pemuka Jabariyah ekstrim berikut ini:
a.Jaham bin Shofwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah. Ia seorang da’I yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekretaris Haris bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umaiyah di Khurasan. Ia ditawan dikemudian hari dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama.
Sebagai seorang penganut dan penyebar paham Jabariyah, banyak yang dilakukan Jaham yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk.
Pendapat Jaham yang berkaitan dengan persoalan teologi sebagai berikut:
1.Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan mempunyai pilihan.
2.Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
               3.Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murjiah.
               4.Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
                       Dengan demikian dalam beberapa hal, pendapat Jaham hamper sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah dan Asy-ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebabkan dengan Al-Mu’tazilah, Al-Murji’ah dan Al-Asy’ari.
      a.Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan Kristen yang senang membicaraka teologi.  Semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan pemerintah Bani Umaiyah, semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umaiyah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang controversial, Bani Umaiyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari kekufah dan disana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
            Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:
1. Al-qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat       disifatkan kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik. Tetapi, manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan di dalam dirinya manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatanya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (Acquisitin). Menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah berikut ini:
a. An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). para pengikutnya disebut An-Najariyah atau Al-Hasainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
1.Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi seperti wayang yang gerakkannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2.Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahakan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia melihat Tuhan.
a.Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia, tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi oleh manusia itu sendiri.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera ke enam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterimah setelah nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat di jadikan sumber dalam menetapkan hukum.


D. CIRI-CIRI AJARAN JABARIYAH
Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah
E. PENOLAKAN TERHADAP PAHAM JABARIYAH
 Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi. Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.



[1] Anwar Rosihan, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 63
[2] Harun Nasution, Teologi Islam (UI Press, Jakarta: 1989), hlm.31
[3] Ibid, hlm. 33
[4] Yusran Asmuni,Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.75
[5] Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam (Jakarta: Beuneubi Cipta, 1987), hlm. 27-29
[6] Anwar Rosihan, Ilmu Kalam, hlm. 65
[7] Taib Thahir Abd, Mu’in, Ilmu Kalam, hlm. 102
[8][8] Sahiluddin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, hlm. 33
[9] Sahiluddin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 43
[10] Anwar Rosihan, Ilmu Kalam, hlm. 67

No comments:

Featured post

Hak dan kewajiban suami istri menurut imam mazhab

--> Kewajiban suami atau hak istri a)       Meminpin, memelihara dan membimbing keluargaserta menjaga dan bertanggung jawab atas ...

Popular Posts